Kamis, 20 Februari 2014

HUKUM TAKLIFI



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Qur’an dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at. Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh.Sasaran kedua disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan),maupun berupa wadh’i (sebab akibat), yang dimaksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungandengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah,mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan ungkapan lain yang akankami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu, kami katakan merupakanobjek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Oleh karena itu, lewat makalah ini penulis akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi.
Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul fiqh, khususnya terhadap Hukum taklifi.
B. Rumusan Masalah
  Dalam makalah ini kami akan membahas tentang masalah aplikasi akhlak baik. Untuk itu kami membuat rumusan masalah sebagai berikut :
a.  Apa pengertian dari hukum taklifi ?
b.  Sebutkan dan jelaskan pembagian hukum taklifi ?
c.  Bagaimana kedudukan dan fungsi hukum taklifi ?
d. Bagaimana penerapan hukum tklifi ?
C. Tujuan Penulisan
     Pembuatan makalah ini bertujuan untuk :
a.  Untuk mengetahui pengertian dari hukum taklifi.
b Untuk mengetahui pembagian dan macam-macam hukum taklifi.
c. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi hukum taklifi.
d. Untuk mengetahui penerapan hukum taklifi dalam kehidupan sehari-hari.

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertan Hukum Taklifi
Menurut bahasa artinya hukum pemberian beban. Secara garis besar para ulama’ ushul fiqh membagi hukum syara’ padadua macam, yaitu Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i. Hukum Taklifi menurut para ahli Ushul Fiqh adalah, ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukallaf, baik perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat [1]. Hukum Taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan [2]. Hal senada juga diungkapkan oleh Chaerul Uman dkk, bahwa hukum Taklifi adalah khitab/ firman Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan para mukallaf, baik atas dasar iqtidha’ atau atas dasar takhyir [3].
Untuk memperjelas pembahasan, kami akan menyajikan definisi hukum wadh’i secara sekilas. Hal ini perlu disampaikan karena antara hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i mempunyai hubungan yang sangat erat. Hukum Wadh’i adalah hukum ketentuan-ketentuan yang mengatur tetang sebab, syarat dan mani’(sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum Taklifi)[4].


 
[1] H.Ssatria Efendi, M Zein, Ushul Fiqh , (Jakarta: Kencana, 2009), hlm41
[2] Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm.296
[3] Chaerul Uman,Ushul Fiqh 1, (bandung: CV Pustak Setia, 1998), hlm. 216
[4].H. Satria Efendi, Ibid 
Jadi, jika hukum Taklifi adalah ketentuan Allah yang bersifat perintah,larangan atau pilihan antara perintah dan larangan. Sedangkan hukum Wadh’i adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi. Maksudnya, jika hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat islam, hukum Wadh’i menjelaskan bahwa waktu tenggelamnya matahari pada waktu sore hari menjadisebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat maghrib.Lebih lanjut, bisa dijelaskan bahwa hukum Taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukallaf, sedangkan hukum wadh’i sebagaian ada yang di luar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia [5].
Contoh, seperti firman Allah SWT. Yang bersifat menuntut untuk melakukan sesuatu perbuatan:
وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ﴿٥٦
Artinya : “Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat.” (QS. An-Nur: 56)
Ayat ini menunjukkan kewajiban shalat, menunaikan zakat dan mentaati Rasul.







 


[5] H.Ssatria Efendi, M Zein, Ushul Fiqh , (Jakarta: Kencana, 2009), hlm41


B.   Pembagian Hukum Taklifi
Memang di kalangan para penulis ushul fiqh terjadi perbedan penggunaanistilah dalam menjelaskan spesifikasi hukum taklifi. Seperti rachmat Syafe’imenggunakan istilah bentuk-bentuk hukum Taklifi, Chaerul Uman dkk menggunakan pembagian atau macam-macam hukum taklifi. Sedangkan Satria Efendi lebih menggunakan kata Pembagian untuk menunjuk spesifikasi hukum taklifi [6]. Akan tetapi apapun istilah yang digunakan oleh para penulis tersebut yang jelas bahwa hukum Taklifi memiliki spesifikasi-spesifikasi yang disebutdengan pembagian. Masing-masing pembagian tersebut memiliki jenis-jenissesuai dengan klasifikasi masing-masing.Sehingga bisa dijelaskan bahwa pembagian hukum Taklifi ada lima, yang juga disebut dengan maqashid As-Sari’ah al-Khamsah yaitu:
1.   Ijab (mewajibkan), yaitu ayat atau hadits dalam bentuk perintah yangmengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat yangmengharuskan untuk shalat. Atau dengan perkataan lain, Ijab adalahsesuatu yang berahala jika dilaksanakan dan berdosa jika ditinggalkan. Seperti firman Allah: Contohnya solat lima waktu.
Firman Allah SWT :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (56)
"Dirikanlah solat dan keluarkan zakat dan taatilah perintah Rasul, mudah-mudahan kamu dirahmati Allah".( An-Nur : 56)
Ayat di atas menjelaskan bahawa solat dan zakat itu adalah WAJIB kerana ia satu bentuk tuntutan yang pasti (jazmun) iaitu berdasarkan dalil qat'i, al-Quran al-Kariim.
Para ulama' mazhab Hanafi membedakan di antara wajib dan fardhu. Jika tuntutan supaya melakukan sesuatu dalam bentuk pasti (jazmun) berdasarkan al-Quran dan Hadis Mutawatir, maka ia dinamakan FARDHU. Jika berdasarkan dalil-dalil lain, selain dari al-Quran dan Hadis, maka ia dinamakan WAJIB.
Contohnya, membaca surah dalam solat adalah FARDHU kerana ia berdasarkan dalil qat'i yaitu al-Quran. Sementara membaca surah al-Fatihah pula adalah WAJIB kerana ia berdasarkan dalil yang zanni yaitu HADIS AHAD.
Pembagian Wajib
                 Wajib ditinjau dari beberapa aspek terbagi menjadi empat :
a.   Wajib ditinjau dari waktu pelaksanaanya, adayang  Muaqqat (dibatasi waktu) dan ada yang Mutlaq (tidak dibatasi waktu)
Wajib Muaqqat adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti dalam waktu tertentu, seperti shalat lima waktu. Masing-masing shalat yang lima waktu itu dibatasi waktu tertentu, arrtinya tidak wajib shalat sebelum waktunya dan mukallaf berdosa jika mengakhirkan shalat dari wkatunya tanpa uzur. Juga seperti puasa Ramadhan, ia tidak wajib dilaksanakan sebelum bulan Ramadhan dan tidak wajib jika Ramadhan telah lewat. Demikian juga semua kewajiban yang oleh syar’i ditetpkan waktu pelaksanaanya.
Wajib yang Mutlaq  (tidak dibatasi waktu) adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilaksanakan secara pasti tetapi tidak  ditentukan waktu pelaksanaanya. Seperti denda yang wajibatas orang yang bersumpahkemudian melanggar sumpah, pelaksanaan denda ini tidak ditentukan waktunya, jika ia menghendaki bisa saja dilakukan langsung setelah melanggar sumpah atau ia tidak melaksanakan langsung pada saat itu. Juga seperti naik haji bagi orang yang mampu, pelaksanaan kewajiban ini tidak ditentukan pada taun yang mana ia harus menunaikan.
Diantara cabang dari pembagian wajib yang dibatasi waktu dan yang mnutlaq adalah bahwa wajib yang ditentukan waktunya, maka seorang mukallaf berdosa jika menunda wajib itu dari wktunya tanpa uzur. Karena wajib yang dibatasi waktu itu adalah dua kewajiban, yakni wajib dilakukan dan dilakukan pada waktunya. Seseorang yang menunaikan wajib setelah waktunya, berarti telah menunaikan salah satu kewajiban, yaitu menunaikan kewajiban dan meninggalkan kewajibaan yang lain, yaitu dilakukan tidak pada waktunya. Maka mukallaf berdosa dengan meninggalkan kewajiban ini tanpa uzur.
Sedangkan wajib yang mutlak, maka tidak ada waktu tertentu dalam menunaikannya. Sehingga mukallaf boleh menunaikan pada waktu mana saja yang ia kehendaki dan tidak berdosa di waktu manapun.

b.   Wajib ditinjau daru tuntutan menunaikan, terbagi menjadi wajib ‘aini (wajib ain) dan wajib kifa’i (wajib kifayah)
Wajib ain adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan oleh masing-masing mukallaf. Tidak cukup seorang mukallaf menjadi wakil yang lain, seperti shalat, zakat, haji, menepati janji, menjauhi minuman khamer dan judi.
Wajib Kifayah adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan oleh kelompok mukallaf, tidak oleh masing-masing mukallaf. Artinya jika sebagian mukallaf sudah berbuat maka kewajiban itu sudah ditunaikan dan gugurlah dari dosa mukallaf yang lain. Jika tidak dilakukan oleh seorang mukallaf pun maka semua mukallaf berdosa karena mengabaikan kewajiban itu. Seperti amar ma’ruf (perintah berbuat baik) dan nahi munkar (larangan berbuat mungkar), shalat jenazah, membuat rumah sakit,menyelamatkan orang yang tenggelam, memadamkan kebakaran.
Apabila seseorang telah pasti melakukan wajib kifayah maka hal itu menjadi wajib ain baginya. Misalnya, jika yang menyaksikan orang tenggelam  dan minta tolong itu hanya orang yang pandai berenang , yang melihat suatu peristiwa hanya seorang yang mengaku sebagai saksi, dalam suatu negeri hanya ada satu dokter yang bisa memberikan pertolongan, maka secara pasti mereka itu harus melakukan wajib kifayah, dan kewajiban iitu bagi mereka adalah wajib ain.

c.    Wajib ditinjau dari ukurannya terbagi menjadi wajib muhaddad (yang dibatasi) dan ghairu muhaddad (yang tidak dibatasi
Wajib muhaddad adalah kewajiban yang oleh syar’i telah ditentukan ukurannya. Yakni tanggungan mukallaf atas kewajiban ini tidak hilang sebelum dilakukan sebaimana yang telah ditetapkan syar’i, seperti shalat lima waktu, zakat dan hutang piutang. Setiap shalat fardhu yang lima menjadi beban mukallaf sampai shalat fardhu itu dilaksanakan sesuai jumlah rakaat, rukun dan syaratnya. Zakat adalah kewajiban yang menjadi beban mukallaf sampai zakat itu dikeluarkan sesuai ukuran dan diberikan kepada yang berhak. Seseorang yang bernazar mengeluarkan suatu ukkuran terttentu, maka kewajiban sebab nadzar itu disebut wajib yang muhaddad.
Sedangkan wajib yang tidak dibatasi adalah kewajiban yang tidak ditentukan ukurannya oleh syar’i, tetapi mukallaf dituntut untuk melaksanakan kewajiban yang tidak terbatas. Seperti infak di jalan Allah, tolong menolong pada kebaikan, bersedekah kepada para kafir, memberi makan orang yang kelaparan dan kewajiban lain yang tidak dibatasi oleh syari.

d.   Wajib ditinjau dari sifatnya, terbagi menjadi wajib mu’ayyan (tertentu) dan wajib mukhayyar (pilihan)
Wajib mu’ayyan adalah sesuatu yang dituntut oleh syara’ dengan sendirinya, seperti shalat, puasa dan mengembalikan sesuatu yang digasab. Tanggungan mukallaf tidak hilang, kecuali dengan melakssanakan kewajiban itu dengan sendirinya.
Wajib mukhayyar adalahsalah satu diantara beberapa hal tertentu yang dituntut oleh syar’i, seperti salah satu bentuk denda tebusan. Allah swt mewajibkan kepada orang yang melanggar sumpah untuk memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan budak. Yang wajib adalah salah satu diantara tiga hal tertentu tersebut. Pilihan bagi mukallaf adalah menentukan salah satu untuk dilaksanakan, sehungga hilanglah tanggungannya dengan melaksanakan salah satunya.

2.   Mandub (Sunnah), yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatanyang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Misalnya, surat Al-Baqarah: 282, Allah SWT berfirman
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (Al-Baqarah: 282).
Lafaz di atas menunjukkan lafaz tuntutan yang pasti (jazmun) tetapi terdapat qarinah ….
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا۟ كَاتِبًا فَرِهَٰنٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤْتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا تَكْتُمُوا۟ ٱلشَّهَٰدَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٌ قَلْبُهُۥ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ ﴿٢٨٣
Artinya : Dan jika kamu berada dalam musafir (lalu kamu berhutang atau memberi hutang yang bertempoh), sedang kamu tidak mendapati jurutulis, maka hendaklah diadakan barang gadaian untuk dipegang (oleh orang yang memberikan hutang). Kemudian kalau yang memberi hutang percaya kepada yang berhutang (dengan tidak payah bersurat , saksi dan barang gadaian), maka hendaklah orang (yang berhutang) yang dipercayai itu menyempurnakan bayaran hutang yang diamanahkan kepadanya, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan Tuhannya. Dan janganlah kamu (wahai orang-orang yang menjadi saksi) menyembunyikan perkara yang dipersaksikan itu. Dan sesiapa yang memyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan (ingatlah), Allah sentiasa Mengetahui akan apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah : 283)
Nas al-Quran di atas (al-Baqarah : 283) menunjukkan bahawa tuntutan untuk menulis/mencatat hutang adalah Sunat (Mandub) bukannya Wajib.
Pembagian Sunnah :
Sunnah dibagi menjadi tiga bagian :
a.   Sunnah yang tuntutan mengerjakannya secara menguatkan. Orang yang meninggalkan sunnah ini tidak mendapat siksa melainkan mendapat celaan.
Diantara sunah-sunah ini adalah perbuatan yang  oleh syara’ dianggap sebagai penyempurna kewajiban, misalnya adzan, melakukan shalat lima waktu secara berjamaah. Juga termasuk diantaranya adalah segala sesuatu  yang ditekuni oleh Rasulullah Saw yang berupa masalah-masalah agama dan beliau tidak pernah meninggalkannya kecuali sekali atau dua kali untuk menunjukkan ketidak pastiannya, seperti berkumur dalam berwudhu dan membaca surat atau ayat setelah bacaan surat Al-fatihah dalam shalat. Bagian ini disebut sunnah muakaddah atau sunnah huda.
b.   Sunnah yang dianjurkan oleh syara’ untuk dikerjakan, pelakunya mendapat pahala dan yang meninggalkan tidak disiksa maupun dicela.
Diantara sunnah ini adalah sesuatu yang tidak ditekuni oleh Rasulullah Saw hanya beberapa kali dikerjakan dan hanya beberapa kali ditinggalkan. Diantaranya adalah bersedekah kepada fakir, puasa hari Kamis dalam setiap minggu, atau shalat beberapa rakaat sebagai  tambahan shalat fardhu dan sunnah muakadah. Bagian ini disebut zaa-idah aatau naafilah
c.    Sunnah tambahan, artinya dianggap sebagai pelengkap bagi mukallaf.
Diantaranya adalah mengikuti jejak Rasulullah Saw dalam hal kebiasaan beliau sebagai manusia, seperti makan, minum, berjalan, tidur dan berpakaian menurut sifat yang dilakukan oleh Rasullullah Saw. Mengikuti jejak Rasulullah dalam hal tersebut sifatnya adalah penyempurna, dan dianggap sebagai kebaikan dari mukallaf karen menunjukkan kecintaanyya kepada Rasul. Tetapi bagi orang yang tidak mengikuti Rasul dalam hal tersebut tidak dianggap orang yang jahat, karena hal itu tidak termasuk syariat Rasul. Bagian ini disebut mustahab, adab dan fadhilah.

3.   Muharram (Haram)
Haram ialah tuntutan syara’ supaya meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan pasti (jazmun). Sekiranya seseorang mukallaf itu melakukannya, dia akan berdosa. Sebaliknya jika ditinggalkan berdosa.

Contohnya :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحْمُ ٱلْخِنزِير...ِ
Artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi....” (Q.S Al-Maidah:3)
Atau larangan berbuat itu disertai dengan sesuatu yang menunjukan kepastian, seperti firman Allah Swt :

وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا ﴿٣٢
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Israa’ :32)
Pembagian Haram
Haram terbagi menjadi dua :
a.           Haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram. Artinyua bahwa hukum syara’ telah mengharamkan keharaman  itu sejak permulaan; seperti zina, mencuri, shalat tanpa bersuci, mengwini salah satu muhrimnya dengan mengetahui keharamannya, menjual bangkau dan lain-lain yang  diharamkan secara nyata karena di dalamnya terkandung kerusakan dan bahaya. Maka keharaman itu datang sejak permulaan atas perbuatan itu sendiri.
b.           Haram karena sesuatu yang baru. Artinya, suatu perbuatan itu pada mulanya ditetapkan oleh hukum syara’ sebagai suatu kewajiban, kesunahan atau kebolehan, tetapi bersamaan dengan sesuatu yang baru yang menjadikannya haram; seperti jual beli yang mengandung unsur penipuan, puasa yang terus menerus (siang dan malam) dan lain-lain yang mengandung keharaman karena sesuatu yang baru, bukan haram pada realitas perbuatannya melainkn unsur dari luar perbuatan itu. Artinya, perbuatan itu pada dasarnya tidak menunjukkan kerusakan dan bahaya, tetapi ada sesuatu yang menyertainya yang dapat menimbulkan kerusakan dan bahaya.

4.   Makruh
Makruh adalah ketentuan larangan yang lebih baik ditinggalkan daripada dilakukan.
Contohnya:-Memakan makanan berbau seperti pete ketika akan bergaul dengan orang lain.- Berjualan ketika azan Jum’at.
 Contoh lainnya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآَنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ (101)
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.  (Q.S.Al-Maidah : 101. )
 Qarinah daripada hukum Haram kepada hukum Makruh berdasarkan..
Dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.  (Al-Maidah : 101.  )

Hukum Makruh ialah pembuatnya tidak berdosa, tetapi hanya dicela. Sesiapa yang meninggalkannya (tidak membuat perkara tersebut) akan mendapat pahala dan pujian drp Allah SWT.
5.   Mubah
Mubah adalah sesuatu yang oleh syara’ seseorang mukallaf diperintah untuk  memilih antara melakukannya atau meninggalkannya. Syar’i tidak menuntut agar mukallaf berbuat dan tidak juga menuntut agar mukallaf meninggalkannya.
Dikerjakan atau ditinggalkan,pelakunya tidak akan mendapat pahala,dan tidak pula dianggap berdosa.Contohnya:-Memakan berbagai jenis makanan halal,seperti nasi,sayur-mayur,dan buah-buahan.-Memilih warna pakaian untuk menutup aurat.-Berusaha mencari rezeki dengan jalan berdagang.
Kadang-kadang kebolehan berbuat (mubah) itu ditetapkan dengan nash syara’, seperti jika syar’i menetapkan bahwa tidak berdosa berbuat ini, maka hal ini menunjukkan kebolehan. Seperti firman Allah Swt :
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِۦ مِنْ خِطْبَةِ ٱلنِّسَآءِ...
Artinya : “Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran...” (Q.S. Al-Baqarah:235)

Serta :
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (5)
 Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.( Al-Maidah ; 5)
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ (235)
      Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Al-Baqarah : 235)
لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آَبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالَاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (61)
 Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu, dirumah ibu-ibumu, dirumah saudara- saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, dirumah saudara bapakmu yang laki-laki, dirumah saudara bapakmu yang perempuan, dirumah saudara ibumu yang laki-laki, dirumah saudara ibumu yang perempuan, dirumah yang kamu miliki kuncinya[1051] atau dirumah kawan-kawanmu. tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya. (An-Nuur : 61
C.  Kedudukan dan Fungsi Hukum Taklifi
Kedudukan dan fungsi hukum taklifi menempati posisi yang utama dalam ajaran Islam, karena hukum taklifi membahas sumber hukum Islam yang utama , yaitu Al-Qur’an dan Hadis dari segi perintah-perintah Allah SWT dan rasul-Nya yang wajib dikerjakan,larangan-larangan Allah SWT dan rasul-Nya yang harus ditinggalkan serta berbentuk pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya.

D.  Penerapan Hukum Taklifi dalam Kehidupan Sehari-hari
Seorang muslim/muslimah yang menerapkan hukum taklifi dalam kehidupan sehari-hari tentu selama hidup dialam dunia ini akan senantiasa melaksanakan perintah-Nya yang hukumnya wajib, meninggalkan segala larangan Allah SWT yang hukumnya haram dan lebih baik lagi kalau mengerjakan anjuran Allah SWT dan Rosul-Nya yang hukumnya sunnah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya yang hukumnya makruh.Sedangkan hal-hal yang hukumnya mubah seorang muslim/muslimah boleh mengerjakannya dan boleh tidak,karena baginya tidak ada pahala dan tidak ada dosa .
Kedudukan hukum taklifi (dalam hukum Islam) merupakan ketetapan-ketetapan dari Allah itu sendiri.
Fungsi hukum taklifi adalah sebagai rambu-rambu bagi umat Islam mengenai berbagai perbuatan yang boleh dan dilarang, perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan tetapi jika dilakukan tidak berdosa, dan lain-lain























BAB III
PENUTUP

A.   Simpulan
1.     Pengertian Hukum Taklifi
Hukum Taklifi adalah hokum yang menghendaki dikerjakan oleh mukalaf, larangan mengerjakan, atau memilih antara mengerjakan dan meninggalkan.
2.       Macam-macam Hukum Taklifi
a.   Al-Ijab
b.   An-Nadb
c.    Haram
d.   Makruh
e.    Mubah
3.       Kedudukan dan fungsi Hukum Taklifi
Kedudukan dan fungsi hukum taklifi menempati posisi yang utama dalam ajaran islam, karena hukum taklifi membahas sumber hukum islam yang utama yaitu Al Quran dan Al Hadits dari segi perintah-perintah ALLAH SWT.
4.       Contoh dari Hukum Taklifi itu
Tuntutan mengerjakan suatu perbuatan : berpuasa pada bulan Ramadhan. QS Al-Baqarah : 183.
5.     Penerapan Hukum Taklifi pada sehari-hari
Selama hidup dialam dunia ini akan senantiasa melaksanakan perintah-Nya yang hukumnya wajib, meninggalkan segala larangan ALLAH SWT yang hukumnya haram dan lebih baik lagi kalau mengerjakan anjuran ALLAH SWT dan Rosul-Nya.


DAFTAR PUSTAKA

Suparta, HM. Fiqih Madrasah Aliyah Kelas 3 .Semarang : PT Karya Toha Putra : 2006.
Syukur, H.M. Asywadie. Pengantar Fikih dan Ushul Fikih Surabaya : PT. Bina Ilmu Offset, 1990.
Umar, H.A. Mu’in. dkk. Ushul Fiqih Jakarta : Departemen Agama RI, 1986.
Zahra, Muhammad Abu. Ushul Fiqih Jakarta : PT Pustaka Firdaus : 2010.
http://jokosiswanto77.blogspot.com/2010/06/hukum-taklifi-perintah-ibadah-dan_13.html diakses pada 01 Desember 2012
http://massalaam.wordpress.com/2011/08/13/al-ahkam-asy-syariyah/ diakses pada 01 Desember 2012






Tidak ada komentar:

Posting Komentar