Senin, 24 Juni 2013

MAKALAH HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seperti diketahui, dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini).
Diskusi mengenai agama dan negara masih terus berlanjut di kalangan para ahli. Pada dasarnya yang diperdebatkan adalah perlu tidaknya campur tangan agama dalam urusan kenegaraan. Oleh karenanya, kajian terhadap urgensi beragama dan bernegara menjadi sangat penting. Dari sana kita akan dapat menyimpulkan sebarapa besar peranan agama terhadap negara. Juga perlu dimengerti pandangan berbagai ideologi menyangkut masalah ini.
Maka pada makalah ini akan diuraikan tentang pentingnya bernegara dan beragama. Dilanjutkan dengan hubungan antara agama dan negara ditinjau dari paham teokrasi, sekuleris dan komunis. Sehingga nantinya kita dapat menyimpulkan seberapa penting keterlibatan agama dalam negara.
Orientasi ke depan adalah kita dapat menjelaskan relasi agama dan negara dalam berbagai ideologi, mampu menganalisa konsep hubungan agama dan negara dalam Islam serta dapat mengkritisi hubungan agama dan negara di Indonesia.
B.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.     Apakah pengertian agama?
2.     Bagaimana fungsi agama di masyarakat?
3.     Apakah pengertian negara?
4.     Apa yang melatar belakangi timbulnya Negara?
5.     Apakah hubungan agama dan Negara?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.     Untuk mengetahui tentang pengertian agama
2.     Untuk mengetahui fungsi agama di masyarakat
3.     Untuk mngetahui pengertian negara
4.     Untuk mengetahui latar belakang timbulnya Negara
5.     Untuk mengetahui hubungan agama dan Negara

BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengetian Agama
Kata Agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal (Sumardi, 1985:71). Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan  Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47) lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan. Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana.
Dengan agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman dalam Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang diterjemahkan “Tuhan Allah” (Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana wata’ala dalam Islam telah dirumuskan agama sebagai berikut:  “Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam semesta raya serta isinya” ( Sumardi, 1985:75). Uraian Sijabat ini menekankan agama sebagai hasil refleksi manusia terhadap panggilan yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Hasilnya diungkap dalam hidup manusia yang terwujud dalam hubungannya dengan realitas tertinggi, alam semesta raya dengan segala isinya. Pandangan itu mengatakan bahwa agama adalah suatu gerakan dari atas atau wahyu yang ditanggapi oleh manusia yang berada dibawah.

B.    Fungsi Agama di Masyarakat
Pengertian fungsi disini adalah sejauh mana sumbangan yang diberikan agama terhadap masyarakat sebagai usaha yang aktif dan berjalan secara terus – menerus. Dalam hal ini ada dua fungsi agama bagi masyarakat diantaranya:
a.      Agama telah membantu, mendorong terciptanya persetujuan mengenai sifat dan isi kewajiban – kewajiban sosial dengan memberikan nilai – nilai yang berfungsi menyalurkan sikap – sikap para anggota masyarakat dan menciptakan kewajiban – kewajiban sosial mereka. Dalam hal ini agama telah menciptakan sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh.
b.     Agama telah memberikan kekuatan penting dalam memaksa dan mempererat adat istiadat yang dipandang bagus yang berlaku di masyarakat.
Secara lebih jauh bahwa fungsi agama di masyarakat dapat dilihat dari fungsinya terutama sebagai suatu yang mempersatukan. Dalam pengertian harfiyahnya agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik antara anggota masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Karena nilai-nilai yang mendasari sistem sosial dukungan bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan, maka agama menjamin adanya persetujuan dalam masyarakat. Agama juga cenderung melestarikan nilai-nilai sosial, maka yang menunjukan bahwa nilai-nilai keagamaan tesebut tidak mudah diubah, karena adanya perubahan dalam konsepsi-kosepsi kegunaan dan kesenangan duniawi.

C.    Pengertian Negara
Negara adalah organisasi yang didalamnya ada rakyat, wilayah yang permanen, dan pemerintah yang berdaulat. Dalam arti luas, negara merupakan kesatuan sosial (masyarakat) yang diatur secara konstitusional untuk mewujudkan kepentingan bersama. Jadi, negara adalah suatu wilayah yang didiami oleh penduduk secara tetap dan punya sistem pemerintahan.
Secara etimologi istilah Negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni state (bahasa Inggris), state (Bahasa Belanda dan Jerman) dan etat (Bahasa Prancis), kata staat, state, etat itu diambil dari kata bahasa Latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.
Secara terminologi Negara diartikan dengan organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
  Secara khusus, pengertian negara dapat diketahui dari beberapa ahli kenegaraan, antara lain :
  1. Menurut Aristoteles, negara adalah persekutuan dari keluarga dan desa guna memperoleh hidup yang sebaik - baiknya.
  2. Menurut Karl Mark, negara adalah alat yang berkuasa ( kaum borjuis/kapitalis ) untuk menindas atau mengeksploitasi kelas yang lain ( proletariat / buruh ).
  3. Menurut Logemann, negara adalah organisasi kemasyarakatan ( ikatan kerja ) yang mempunyai tujuan untuk mengatur dan memelihara masyarakat tertentu dengan kekuasaannya.
  4. Menurut Harold J. Laski, negara adalah suatu masyarakat yang terintegrasi karena punya wewenang yang bersifat memaksa dan secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat.
  5. Menurut Kranenburg, negara adalah suatu sistem dari tugas - tugas umum dan organisasi yang diatur dalam usaha mencapai tujuan yang juga menjadi tujuan rakyat yang diliputinya, sehingga perlu adanya pemerintahan yang berdaulat.
  6. Menurut Mr. Soenarko, negara adalah suatu organisasi masyarakat yang mengandung tiga kriteria yaitu ada daerah, warga negara, dan kekuasaan tertentu.
  7. Menurut Meriam Budiarjo, negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat yang berhasil menuntut warganya untuk taat pada peraturan perundang - undangan melalui penguasaan monopolistis dari kekuasaan yang sah.
D.    Latar Belakang Timbulnya Negara
 Asal mula terjadinya Negara berdasarkan fakta sejarah.
a.   Penduduk (occupatie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah yang tidak bertuan dan belum dikuasai, kemudian diduduki dan dikuasai. Misalnya Liberia yang diduduki budak – budak Negara yang dimerdekakan tahun 1847.
b.   Peleburan (fusi)
Hal ini terjadi ketika Negara – Negara  kecil yang mendiami suatu wilayah mengadakan perjanjian untuk saling melebur atau bersatu menjadi Negara yang baru. Misalnya terbentuknya federasi Jerman tahun 1871.
c.   Penyerahan (Cessie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah diserahkan kepada Negara lain berdasarkan sutau perjanjian tertentu.
d.   Penaikan (Acessie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah terbentuk akibat penaikan lumpur sungai atau dari dasar laut (delta). Kemudian di wilayah tersebut dihuni oleh sekelompok orang sehingga terbentuklah Negara. Misalnya wilayah Negara Mesir yang berbentuk dari delta sungai Nil.
Disamping itu terdapat beberapa teori pembentukan Negara, diantaranya adalah:
a.  Teori Kontrak Sosial
Thomas Hobbes (1588-1679) mengemukakan bahwa Negara menimbulkan rasa takut kepada siapapun yang melanggar hukum negara. Jika warga Negara melanggar hukum Negara, tidak segan – segan Negara menjatuhkan vonis hukuman mati, keadaan alamiah  ditafsirkan suatu keadaan manusia yang hidup bebas dan sederajat menurut kehendak hatinya sendiri dan mengajarkan hidup rukun, tentram, tidak mengganggu hidup, kesehatan, kebebasan, dan milik dari sesamanya.
b.  Teori Ketuhanan
Teori ketuhanan dekenal juga dengan doktrin teokratis dalam teori asal mula Negara. Teori ini bersifat universal dan ditemukan baik di dunia timur maupun di dunia barat, baik dalam teori maupun praktik. Diabad pertengahan, Bangsa Eropa menggunakan teori ini untuk membenarkan kekuasaan raja – raja yang mutlak. Doktrin ini menggunakan hak – hak raja yang berasal dari tuhan untuk memerintah dan bertahta sebagai raja (devine right of kings). Doktrin ini lahir sebagai resultante controversial dari kekuasaan politik abad pertengahan.
c. Teori Kekuatan
Teori kekuatan secara sederhana dapat diartikan bahwa Negara yang pertama adalah dominasi dari kelompok yang terkuat terhadap kelompok yang terlemah. Negara dibentuk Negara penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan dan pendudukan dari kelompok etnis yang lebih kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah, dimulailah proses pembentukan Negara.
d. Teori Organis
Konsep organis tentang hakikat dan asal mula tebentuknya Negara adalah suatu konsep biologis yang melukiskan Negara dengan istilah – istilah ilmu alam. Negara dianggap atau disamakan dengan makhluk hidup, manusia, atau binatang.
e.  Teori Histories
Teori histories atau teori evolusionistis (gradualistic theory) merupakan teori yang menyatakan bahwa lembaga – lembaga sosial tidak dibuat, tetapi tumbuh secara evolusioner sesuai dengan kebutuhan – kebutuhan manusia.

E.    Hubungan Agama dan Negara
Negara dan agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan (discoverese) yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli. Berikut penulis menguraikan hubungan agama dan negara menurut beberapa paham.
1. Hubungan agama dan negara menurut paham teokrasi
Negara menyatu dengan agama. Karena pemerintahan menurut paham ini di jalankan berdasarkan firman-firman tuhan segala kata kehidupan dalam masyarakat bangsa, Negara di lakukan atas titah Tuhan.
2. Hubungan agama dan negara menurut paham sukuler
Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau  firman-firman Tuhan. Meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama.
3. Hubungan agama dengan kehidupan manusia
Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan Agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia, agama merupakan keluhan makhluk tertindas.
Berbicara mengenai hubngan agama dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam tetapi karena persoalan yang muncul sehingga menjadi perdebatan di kalangan beberapa ahli. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut maka hubungan agama dan negara dapat digolongkan menjadi dua, diantaranya :

1.     Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik .
Maksud hubungan antagonis tikadalah sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antar negara dengan Islam sebagai sebuah agama. Sebagai contohnya adalah
pada masa kemerdekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga presepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi politik Islam. Hal itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan Islam dan Nasionalis.
Gerakan Nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok belajar yang bersekolah di Belanda. Mahasiswa hasil didikan belanda ini sangat berbakat dan merasa terkesan dengan kemajuan teknis di Barat. Pada waktu itu pengetahuan agama sangat dangkal sehingga mahasiswa cenderung menganggap bahwa agama tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan. Sehingga untuk menuju kemerdekaan, nasionalis mengambil jalan tengah dengan mengikuti tren sekuler barat dan membatasi peran agama dalam wilayah kepercayaan dan agama individu. Akibatnya, aktivis politik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi atau agama negara pada 1945 serta pada dekade 1950-an, mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik “minoritas” atau “outsider.”
Di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka. Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis yangmemungkinkan antara Islam dan negara terus bergulir hingga periode kemerdekaan dan pasca-revolusi. Kendatipun ada upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru ( kurang lebih pada 1967-1987).
Hubungan agama dan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik, di mana negara betul-betul mencurigai Islam sebagai kekuatan potensial dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah atau semangat yang tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan.
2.     Hubungan Agama dan Negara yang bersifat Akomodatif
Maksud hubungan akomodatif adalah sifat hubungan dimana negara dan agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik( M. imam Aziz et.al.,1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa umat islam merupakan kekuatan politik yang potensial, sehingga Negara mengakomodasi islam. Jika islam ditempatkan sebagai out-side Negara maka konflik akan sulit dihindari yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI.
Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif. Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya wacana politik Islam serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian (besar) masyarakat Islam. Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas dan memiliki sifat yang berbeda diantaranya :
·       Struktura, yaitu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi para aktivis Islam untuk terintegrasikan ke dalam Negara.
·       Legislatif , misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai akomodatif terhadap kepentingan Islam.
·       Infrastructural, yaitu dengan semakin tersedianya infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan umat Islam dalam menjalankan “tugas-tugas” keagamaan.
·       Kultural, misalnya menyangkut akomodasi Negara terhadap islam yaitu menggunakan idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata ideologis maupun politik negara.
Melihat sejarah di masa orde baru, hubungan Soeharto dengan Islam politik mengalami dinamika dan pasang surut dari waktu ke waktu. Namun, harus diakui Pak Harto dan kebijakannya sangat berpengaruh dalam menentukan corak hubungan negara dan Islam politik di Indonesia.
Alasan Negara berakomodasi dengan Islam pertama, karena Islam merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan jikaa hal ini dilakukan akan menumbulkan masalah politik yang cukup rumit. Kedua, di kalangan pemerintahan sendiri terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu fobia terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat sebagai akibat dari latar belakangnya. Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap, dan orientasi politik di kalangan Islam itu sendiri. Sedangkan alasan yang dikemukakan menurut Bachtiar, adalah selama dua puluh lima tahun terakhir, umat Islam mengalami proses mobilisasi-sosial-ekonomi-politik yang berarti dan ditambah adanya transformasi pemikiran dan tingkah politik generasi baru Islam.
Hubungan Islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang lambat laun menjadi akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul ketika umat Islam Indonesia ketika itu dinilai telah semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam masalah ideologi Pancasila.
Sesungguhnya sintesa yang memungkinkan antara Islam dan negara dapat diciptakan. Artikulasi pemikiran dan praktik politik Islam yang legalistik dan formalistik telah menyebabkan ketegangan antara Islam dan negara. Sementara itu, wacana intelektualisme dan aktivisme politik Islam yang substansialistik, sebagaimana dikembangkan oleh generasi baru Islam, merupakan modal dasar untuk membangun sebuah sintesa antara Islam dan negara.
Dikalangan cendikiawan muslim, polemic tentang hubungan antara agama dan negara masih terjadi perbedaan pendapat, di Indonesia, misalnya muncul dua pendapat atau pandangan yaitu pendapat atau pandangan Nurcholis Madjid dan H.M. Rasjidi. Nurcholis Madjid mengemukakan gagasan pembaharuan dan mengecam dengan keras konsep negara Islam sebagai berikut:
“Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep “negara Islam” adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya adalah spritual dan pribadi”. Menurut Tahir Azhary pandangan Nurcholis ini jelas telah memisahkan antara kehidupan agama dan negara.
Seorang intelektual muslim terkemuka yaitu M. Rasjidi yang pernah menjabat Menteri Agama dan Duta Besar di Mesir dan Pakistan, serta Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam di Universitas Indonesia dengan sangat segan telah menulis suatu buku dengan judul Koreksi Terhadap Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi. Kritik H.M. Rasjidi terhadap pandangan Nurcholis dikutip oleh Muhammad Tahir Azhary yang berjudul Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa.
Dengan konklusi bahwa dalam batas tertentu, dalam Islam ada juga pemisahan antara negara dan agama, M.Thahir Azhary berpendapat baik Nurkholis Madjid maupun Mintaredja telah terjebak ke alam pikiran yang rancu, karena menurutnya, Islam dapat diartikan baik sebagai agama dalam arti sempit, maupun sebagai agama dalam arti yang luas. Dengan demikian menurut M, Tahir Azhary , konklusi Mintaredja sesungguhnya kontradiktif dengan jalan pikirannya sendiri. Kalau Islam dalam arti yang luas ia tafsirkan sebagai “Way of Life now in the earth and in the heaven after death”. Konsekuensi logis dari penafsiran itu seharusnya ialah Islam merupakan suatu totalitas yang komprehensif dan karena itu tidak mengenal pemisahan antara kehidupan agama dan negara.
Berdasarkan fakta otentik, jelas bahwa dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasul kehidupan agama (dalam hal ini Islam) dengan kehidupan negara tidak mungkin dipisahkan. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Salah satu doktrin Al-Qur’an yang memperkuat pendirian ini adalah adanya ayat yang menyebutkan adanya kesatuan antara hubungan manusia dengan manusia yang terdapat dalam surat Ali Imran, ayat 112.
Ayat tersebut diperkuat lagi dengan firman Allah yang terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 58-59 yang artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) menetapkan hubungan diantara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu sekalian.” (al-Nisa’ : 58-59).

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hubungan antara agama & Negara dalah tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintah dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan. Segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa dan Negara dilakukan atas titah Tuhan.
Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama.
Kehidupan manusia, dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas
Agama, secara sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan (etimologi) dan sudut istilah (terminology) menurutnya dalam masyarakat indonesia selain dari kata agama, dikenal pula kata din dari bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa. Menurutnya, agama berasal dari kata Sanskrit. Pengertian agama yang dikutip sudah pasti tidak akan mendapatkan kesepakatan dan hal ini sudah dapat diduga sebelumnya karena sebagaimana dikatakan, bahwa kita sulit sekali atau mustahil menjumpai definisi yang dapat diterima semua pihak
Negara, secara literal istilah Negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni kata staat, state, etat itu diambil dari kata bahasa latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Secara terminology, Negara diartikan dengan organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
B.    Saran
Penulis berharap dengan makalah ini bisa menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang apa itu dan bagaimana hubungan antara agama dan Negara.
DAFTAR PUSTAKA

http://artikelkomplit2011.blogspot.com/2012/07/hubungan-agama-dan-negara.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar