BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Sebagaimana ilmu
keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap
berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya,
tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat. Masalah
utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan
takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah sahabat. Dan di masa Rasulullah
saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum
syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat
penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Pada masa tabi’in
cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh
metode maslalah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat
sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai
hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para
ulama ketika itu.
Corak perbedaan
pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa Al- Aimmat
Al- Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang digunakan juga
semakin jelas bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan
istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan mereka lebih dapat
dipercaya dari pada hadis ahad
Apa yang
dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw., sahabat,
tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan.
Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang
sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu
tersendiri.
1.2
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan latar belakang
masalah yang dipaparkan diatas maka di rumuskan permasalahan sebagai berikut: "
Perkembangan Ilmu fiqh ".
1.3
Rumusan
Masalah
Selanjutnya
penulis menghasilkan suatu konsekuensi yang terangkum dalam pertanyaan sebagai
berikut :
1.3.1
Bagaimana
perkembangan ushul fiqh pada masa Nabi?
1.3.2 Bagaimana perkembangan ushul fiqh pada masa sahabat dan tabi’in?
1.3.3 Bagaimana tahap-tahap perkembangan ushul fiqh?
1.3.4 Bagaimana pembukuan ushul fiqh?
1.3.5 Bagaimana
Perkembangan ushul fiqh di Indonesia?
1.4
Tujuan
Penelitian
Dari
perumusan masalah yang dipaparkan diatas maka yang menjadi tujuan dalam tugas
ini adalah sebagai berikut :
1.4.1
Untuk mengetahui
perkembangan ushul fiqh pada masa Nabi.
1.4.2
Untuk
mengetahui perkembangan ushul fiqh pada masa sahabat dan tabi’in.
1.4.3
Untuk
mengetahui tahap-tahap perkembangan ushul fiqh.
1.4.4
Untuk
mengetahui pembukuan ushul fiqh.
1.4.5
Untuk
mengatahui perkembangan ushul fiqh di Indonesia.
1.5
Metode
Penelitian
Adapun metode yang penulis ambil
berdasarkan tugas ini antara lain:
1.5.1
Telaah Buku.
1.5.2
Browsing
Internet.
1.6
Manfaat
Penelitian.
Secara
praktis hasil dari tugas ini diharapkan dapat bermanfaat dan dijadikan bahan
masukan untuk berbagai pihak. Manfaatnya antara lain Setelah melakukan survei
banyak manfaat yang dapat kita ambil salah satunya kita dapat mengetahui lebih
dalam perkembangan ilmu fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Ushul Fiqh Pada Masa
Nabi.
Di zaman Rasulullah
SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan As-sunnah. Apabila suatu
kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus
tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rasulullah SAW menetapkan hukum kasus
tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah.
Hal ini antara
lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:
“Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepadamu melalui pendapatku dalam
hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah)
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqh (hukum
Islam) dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber
fiqh adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa
sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini
didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk
menjadi gubernur di Yaman. Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:
“Sesungguhnya
Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz
bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya
putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau
temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah
Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah
Rasul?!, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi
bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan
Rasulullah (HR. Bukhari).
Dari
keterangan di atas dapat dipahami bahwa Ushul Fiqih secara teori telah
digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum
menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika
terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah
mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran, kemudian Hadis. Jika dari kedua
sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat berijtihad.
Hadits ini
secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi mengembangkan Ilmu
Ushul Fiqh, tapi secara tersirat jelas Nabi telah memberikan keluasan dalam
mengembangkan akal untuk menetapkan hukum yang belum tersurat dalam Al-Quran
dan Sunnah. Artinya : “ dengan keluwesannya Nabi dalam melakukan pemecahan
masalah-masalah ijtihadiyah telah memberikan legalitas yang kuat terhadap para
sahabat. Dalam sebuah haditsnya yang mengandung kebolehan bagi manusia untuk
mencari solusi terhadap urusan-urusan keduniaan ”.
Rasulullah bersabda : “Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.”
Dorongan
untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang
menjelaskan tentang pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad
sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil
usahanya benar atau salah.
Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di
atas, Nabi sendiri pada dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan
melakukan ijtihad setidak-tidaknya dalam bentuk qiyas sebagaimana dapat kita
temukan dalam hadits-haditnya sebagai berikut :
“Seorang
wanita namanya Khusaimiah datang kepada Nabi dan bertanya, Ya Rasulullah
ayah saya seharusnya telah menunaikan haji, dia tidak kuat duduk dalam
kendaraan karena sakit, Apakah saya harus melakukan haji untuknya? Jawab
Rasulullah dengan bertanya bagaimana pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang?
Apakah engkau harus membayar? Perempuan itu menjawab , Ya, Nabi berkata utang
kepada Allah lebih utama untuk dibayar.
Hadits ini
menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika seorang
sahabat datang kepada Nabi yang menanyakan tentang keharusan penunaian
kewajiban ibadah haji bapaknya yang mengidap sakit, Nabi menegaskan keharusan
penunaiannya dengan melakukan pengqiyasan terhadap pembayaran utang antara
sesama manusia.
Ada satu
hal yang perlu dicatat, kehadiran Nabi sebagai pemegang otoritas tunggal
dalam permasalahan-permasalahan hukum membuat Nabi sangat berhati-hati disatu
pihak, dan terbuka dipihak lain. Sikap hati-hati yang ditempuh oleh Nabi dalam
rangka penerapan hukum Islam bidang ibadah. Penjelasan Nabi yang berkaitan
dengan ini cukup rinci. Wahyu memegang peranan sangat penting. Sikap terbuka
yang ditempuh oleh Nabi dalam upaya pengembangan hukum Islam bidang muamalah.
Dalam
beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika menjawab
pertanyaan para sahabat. Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab
tentang batal atau tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah
SAW bersabda :
“Apabila
kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?” Umar
menjawab:”Tidak apa-apa” (tidak batal). Rasulullah kemudian bersabda “maka
teruskan puasamu.”(HR al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).
Hadits ini
mengidentifikasikan kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelas telah menggunakan
qiyas dalam menetapkan hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak batalnya
seseorang yang sedang berpuasa karena mencium istrinya sebagaimana tidak
batalnya puasa karena berkumur-kumur.
2.2 Perkembangan Ushul Fiqh Pada Masa Sahabat dan Tabi’in.
Semenjak Nabi Saw wafat, pengganti beliau
adalah para sahabatnya. Periode ini dimulai pada tahun 11 H sampai pertengahan
abad 1 H (50 H). Pembinaan hukum Islam dipegang oleh para pembesar sahabat,
seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada masa ini
pintu ijtihad/istimbat telah mulai dikembangkan, yang pada masa Nabi Saw tidak
pernah mereka gunakan, terkecuali dalam permasalahan yang amat sedikit.
Para sahabat menggunakan istilah “al-Ra’yu”,
istilah ini dalam pandangan sahabat seperti yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim
dalam kitab I’lam al-Muwaqqi’in- adalah sesuatu yang dilihat oleh hati setelah
terjadi proses pemikiran, perenungan dan pencarian untuk mengetahui sisi
kebenaran dari permasalahan yang membutuhkan penyelesaian. Al-Ra’yu dalam
pengertian ini mencakup qiyas, istihsan dan istishlah. Meskipun demikian mereka
belum menamakan metode penggalian hukum seperti ini dengan nama ilmu Ushul
Fiqih, namun secara teori mereka telah mengamalkan metodenya. Memang, semenjak masa sahabat telah timbul
persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para
sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW
sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak
lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa
sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum. Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA
tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena
kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita
yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan
maharnya, hanya berhak mendapatkan mut’ah. Ali menyamakan kedudukan wanita
tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri
serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara’ ditetapkan hak mut’ah
baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :
w yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ
bÎ)
ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB
öNs9 £`èdq¡yJs?
÷rr& (#qàÊÌøÿs?
£`ßgs9 ZpÒÌsù
4
£`èdqãèÏnFtBur n?tã
ÆìÅqçRùQ$#
¼çnâys%
n?tãur
ÎÏIø)ßJø9$# ¼çnâys%
$Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/
(
$)ym
n?tã
tûüÏZÅ¡ósçRùQ$#
ÇËÌÏÈ
Artinya : "Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu
menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada
mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan “.
Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan
oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh para sahabatnya baik di kala Rasulullah
SAW masih hidup atau setelah beliau wafat, tampak adanya cara-cara yang
digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan dan tidak disusun kaidah-kaidah
(aturan-aturan)nya ; sebagaimana yang kita kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh ; karena
pada masa Rasulullah SAW, demikian pula pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan
adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW
dan pada masa sahabat telah terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada
waktu-waktu itu tidak disusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu
Ushul Fiqh karena pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya. Yang demikian
itu, karena Rasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum
baik secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan
adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab
turun (asbabun nuzul) ayat-ayat Al-Qur’an, sebab-sebab datang (asbabul wurud)
Al- Hadits, mempunyai ketazaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan
dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka
mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri
(Arab) yang juga bahasa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka
miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah.
PERIODE TABI’IN DAN IMAM MAZHAB
Pada masa tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para
imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam
telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh
orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula
situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang
bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah
itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di
kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak
persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai
daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya. Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang
timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang
berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga
mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.
Pada masa ini juga semakin banyak terjadi
perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan
jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja
antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama
yang sama-sama tinggal dalam satu daerah. Kenyataan-kenyataan di atas mendorong
para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang
bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum dalam
berijtihad.
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah
kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama
Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari
pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya
penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan,
kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan.
Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan
kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara’. Hal ini mendorong para
ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami
nash-nash syara’ sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya
nash-nash tersebut.
2.3 Tahap-tahap Perkembangan Ushul Fiqh.
2.3.1 Tahap perkembangan (abad 4 H)
Pada masa ini abad(4H) merupakan abad
permulaan kelemahan Dinasty abaSsiyah dalam bidang politik. Dinasty Abasiyah
terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang
sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap perkembangan semangat
keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena masing-masing penguasa daulah
itu berusaha memajukan negrinya dengan memperbanyak kaum intelektual.
Khusus dibidang pemikiran fiqh Islam pada
masa ini mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’
Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad
ini. mereka mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan
sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikiran yang khas,
terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqh semakin
mantap exsitensinya, apa lagi disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal
ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan
melakukan berpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak
dikatakan taqlid, karena masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap
mengadakan kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang dirintis oleh para
pendahulunya. Dengan melakukan usaha antara lain:
·
Memperjelas
ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka mereka disebut ulama
takhrij
·
Mentarjihkan
pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi riwayat dan dirayah.
·
Setiap
golongan mentarjihkannya dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusu
kitab al-khilaf
Akan tetapi tidak
bisa di ingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup, akibatnya
dalam perkembangan fiqh Islam adalah sebagai berikut:
·
Kegiatan
para ulama terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung
hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya.
·
Menghimpun
masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uraian yang singkat.
·
Memperbanyak
pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah.
Keadaan tersebut sangat, jauh berbeda di bidang ushul fiqh.
Terhentinya ijtihad dalam fiqh dan adanya usaha-usaha untuk meneliti
pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan mentarjihkannya. Justru memainkan peranan
yang sangat besar dalam bidang ushul fiqh.
Sebagai tanda berkembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H
ini ditandai dengan munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil
karaya ulama-ulama fiqh diantara kitab yan terekenal adalah:
·
Kitab
Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu
Dilal Dalaham Al-Kharkhi,(w.340H.)
·
Kitab Al
–Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim yang
juga terkenal dengan Al-Jasshah (305H.)
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan
ushul fiqh pada abad 4h yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas
ushul fiqh secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada
masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas hanya kitab-kitab tertentu,
hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam
masalah itu.
Selain itu Materi berpikir dan penulisan dalam kitab-kitab
yang ada sebelumnya dan menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana
dalam kitab fushul-fi al-ushul karya abu baker ar-razi hal ini merupakan corak
tersendiri corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh pada awal abad
4h., juga tampak pula pada abad ini pengaruh pemikiran yang bercorak filsafat,
khususnya metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu ushul fiqih.
2.3.2 Tahap Penyempurnaan ( 5-6 H )
kelemahan politik di
Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil, membawa arti bagi
perkembangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tak lagi berpusat di
Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan Markusy.
Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa
daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
Hingga berdampak pada
kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang menyebabkan sebagian ulama memberikan
perhatian khusus untuk mndalaminya, antara lain Al-Baqilani, Al-Qhandi, abd.
Al-jabar, abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al Bashri,
Imam Al-Haramain, Abd. Malik Al-Juwani, Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain.
Mereka adalah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman
di kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas
ilmu ushul fiqih yang tidak ada bandingannya dalam penulisan dan pengkajian
keislaman , itulah sebabnya pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hri
senantiasa menunjukan minatnya pada produk-produk ushul fiqih dan menjadikannya
sebagi sumber pemikiran.
Dalam sejarah
pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan periode
penulisan ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang
mnjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih slanjutnya.
Kitab-kitab ushul fiqih
yang ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab ushul fiqih
bagi masing-masing madzhabnya, juga menunjukan adanya aliran ushul fiqih, yakni
aliran hanafiah yang dikenal dengan alira fuqoha, dan aliran Mutakalimin
2.4 Pembukuan Ushul Fiqh.
Salah satu yang
mendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan
wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan
timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk
itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah
dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Dengan disusunnya
kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad
II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh.Dikatakan oleh Ibnu Nadim
bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu
Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada
kita.
Diterangkan oleh Abdul
Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu
Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris
asy-Syafi’iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan
kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai
kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau
adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh.
Pada periode ini, metode
penggalian hukum juga bertambah banyak, baik corak maupun ragamnya. Dengan
demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis
penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara
membatasi ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat
yang telah disepakati dan berijtihad dengan menggunakan penalarannya sendiri,
seperti istihsan. Abu Hanifah tidak mau menggunakan fatwa ulama pada zamannya.
Sebab ia berpandangan bahwa mereka sederajat dengan dirinya. Imam Maliki setelah
al-Quran dan Hadis- lebih banyak menggunakan amal (tradisi) ahli madinah dalam
memutuskan hukum, dan maslahah-mursalah.
Pada
periode inilah ilmu Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang merintis
pembukuan ilmu ini adalah Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish. Ia
memulai menyusun metode-metode penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya serta
petunjuk-petunjuk Ushul Fiqih. Dalam penyusunannya ini, Imam Syafi’i bermodalkan
peninggalan hukum-hukum fiqih yang diwariskan oleh generasi pendahulunya, di
samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran fiqih yang
bermacam-macam.
Berbekal pengalaman
beliau yang pernah “nyantri” kepada Imam Malik (ulama Madinah), Imam Muhammad
bin Hasan (ulama Irak dan salah seorang murid Abu Hanifah) serta fiqih Makkah
yang dipelajarinya ketika berdomisili di Makkah menjadikannya seorang yang
berwawasan luas, yang dengan kecerdasannya menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan
tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah. Kaidah-kaidah inilah yang di
kemudian hari dikenal dengan nama Ushul Fiqih. Oleh sebab itu Imam Syafi’i
adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih, yang diberi nama
“al-Risalah”. Namun demikian terdapat pula pendapat dari kalangan syiah yang
mengatakan bahwa Imam Muhammad Baqir adalah orang pertama yang membukukan ilmu
Ushul Fiqih.
Sebenarnya,jauh sebelum
dibukukannya ushul fiqih, ulama-ulama terdahulu telah membuat teori-teori ushul
yang dipegang oleh para pengikutnya masing-masing. tak heran jika pengikut para
ulama tersebut mengklaim bahwa gurunyalah yang pertama menyusun kaidah-kaidah
ushul fiqih.
Golongan Hanafiyah
misalnya mengklaim bahwa yang pertama menyusun ilmu Ushul Fiqih ialah Abu
Hanifah, Abu Yusuf Dan Ibnu Ali-Al Hasan. Alasan mereka bahwa Abu Hanifah
merupakan orang yang pertama menjelaskan metode istinbath dalam kitabnyanya
Ar-Ra’yu. Dan Abu Yusuf Abu Yusuf adalah orang yang pertama menyusun ushul fiqh
dalam madzhab hanafi, demikian pula Muhammad Ibnu Al-Hasan telah menyusun ushul
fiqh sebelum As-Syafi’ie, bahkan As-Syafi’i berguru kepadanya.
Golongan As-Syafiiyah
juga mengklaim bahwa Imam As-Syafi’i lah orang yang pertama yang menyusun kitab
ushul fiqh. Hal ini di ungkapkan oleh Al-Allamah Jamal Ad-Din Abd Ar-Rohman
Ibnu Hasan Al-Asnawi. Menurutnya, “tidak diperselisihkan lagi “Imam Syafi’i
adalah tokoh besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam ilmu ini, yaitu kitab
yang tidak asing lagi dan yang sampai kepada kita sekarang, yakni kitab
Al-Risalah2
Kalau dikembalikan pada
sejarah, yang pertama berbicara tentang ushul fiqih sebelum dibukukannya adalah
para sahabat dan tabi’in. Hal ini tidak diperselisihkan lagi. Namun yang
diperselisihkan adalah orang yang mula-mula mengarang kitab ushul fiqih sebagai
suatu disiplin ilmu tersendiri yang bersifat umum dan mencakup segala aspeknya.
Untuk itu kita perlu mengetahui terlebih dahulu teori-teori penulisan dalam
ilmu ushul fiqih. Secara garis besar ada dua teori penulisan yang dikenal
yakni.
Pertama, merumuskan
kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab dalam bab fiqih dan menganalisisnya serta
mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah tersebut. Teori inilah yang
ditempuh oleh golongan Hanafi dan merekalah yang merintisnya.
Kedua, merumuskan
kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahit dan meng-istinbat hukum dari
sumber hukum syar’i, tanpa terikat oleh pendapat seorang faqih atau suatu
pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan. Cara inilah yang ditempuh
Al-Qur’an-syafi’i dalam kitabnya ar-risalah, suatu kitab yang tersusun secara
sempurna dalam bidang ilmu ushul dan independen. Kitab seperti ini belum ada
sebelumya, menurut ijma’ ulama dan catatan sejarah.
2.5 Perkembangan
Ushul Fiqh di Indonesia
Sebagaimana yang telah
disebutkan tadi bahwa para ulama telah berusaha untuk membukukan ilmu ushul
fiqh, sedangkan pada waktu itu ulama-ulama di Indonesia sibuk untujk mempelajari
ilmu fiqh mazhab Imam Syafi’i dan mengajarkan Tafsir Jailanin, juga hal-hal
yang berhubungan dengan ilmu Nahu dan
Sharaf.
Orang
yang bisa mempelajari bermacam-macam ilmu dengan menerjemahkannya dari bahasa
Arab ke bahasa Melayu pada masa itu mendapat penghargaan yang
setinggi-tingginya dari masyarakat. Sedangkan sebagian para Ulama pergi ke
Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan untuk menambah ilmu-ilmu agama, bahkan
untuk mencukupkan bermacam-macam Ilmu.sesampai mereka di Mekah mereka berusaha
untuk mempelajari bermacam-macam ilmu di masjidil Haram. Yang pertama kali
mempelajari dibidang ilmu pengetahuan adalah Alm. Syekh Ahmad Khatib orang
Minangkabau (Sumatera Barat), salah seorang imam yang tekun sebagai imam
Syafi’i di Mesjid Haram dalm belajar.
Alm Ahmad Khatib
mendapat penghargaan yang amat tinggi dan keuntungan yang banyak dalam
bermacam-macam ilmu Agama, bahkan dalam ilmu pasti. Setelah itu barulah mereka
mempelajari Ilmu Ushul Fiqh, Tauhid, Musththalah Hadist, BAyan, Ma’aniy,
Badi’Arud, Qawafiy, dan lain-lain.
Selesainya mereka
mempelajari dan menuntut Ilmu Di Mekah barulah mereka pulang ke negerinya
masing-masing dan mulailah mereka menebarkan ilmu-ilmu tersebut, di antar
mereka yang terkenal di Sumatera Barat ialah Syekh Muhammad Thaib Umar, Syekh
Abdul Karim Amarullah, Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Abbas Abdullah, sayekh
Ibrahim Musa, Syekh Sulaiman Ar Rusuli, Syekh Jamil JAbo, Syekh Muhammad Jamil
Jambek, dan Syekh Abdullah HAlaban, serta beberapa ulam lainnya.Semenjak itu
tersiarlah ilmu tersebut di daerah-daerah dan pelosok-pelosok, bahkan diwaktu
itu mengajarkan ilmu-ilmu tersebut kepada orang-orang yang mempunyai minat dan
keinginan untuk mempelajarinya, ini terjadi pada tahun 1310 H
(±1890).
Walaupun ilmu Ushul Fiqh
sudah menjadi berita yang termasyhur di Indonesia, bahkan ulama-ulama di waktu
itu bertekun mempelajarinya.mengharapkan masalah-masalah fiqh, sehingga mereka
tidak langsung menerima apa yang di katakan oleh Fuqaha sebelumnya, tetapi
adalah dengan menyelidiki secara mendalam, bahkan mereka memakai dalil yang
kuat dalam undang-undang yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh. Kemudian
barulah mengatur pelajaran Ushul Fiqh dalam bermacam-macam tingkatan.
Seperti:Tingkatan Ibtidaiyah, Tsanawiyah, ‘Aliyah dan lain-lain
BAB III
PENUTUP
3.
1. Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelsan di atas dapat
disimpulkan :
1.
Apa yang dikemukakan diatas
menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw., sahabat, tabi’in dan
sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak
atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan
kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri
2.
Karena timbulnya berbagai persoalan
yang belum diketahui hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat
membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan
dalam menggali dan menetapkan hukum maka disusunlah kitab ushul fiqih .
3.
Bahwa kegiatan ulama dalam penulisan
ushul fiqih merupakan salah satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara.
Dan menjabarkanya kehidupan social yang berubah-ubah itu, kegiatan tersebut
dimuali pada abad ketiga hijriyah. ushul fiqih terus berkembang menuju kesempurnaanya
hingga abad kelima dan awal abad 6H abad tersbut merupakan abad keemasan
penulisan ilmu ushul fiqh Karena banyak ulama yang mmusatkan perhatianya pada
bidang ushul fiqih dan juga muncul kitab-kitab fiqih yang menjadi standar dan
rujukan untuk ushul fiqih selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
v http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/fiqih/ilmu-fiqih/100/sejarah-perkembangan-fiqh.html
v http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/05/sejarah-pemikiran-dan-perkembangan.html
v http://luckyboy0103.blogspot.com/2012/10/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan.html
v http://deffri15.blogspot.com/2011/11/sejarah-perkembangan-ilmu-fiqh-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar