BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas
dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Qur’an
dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat
pada sumber lain yang diakui syari'at. Sebagaimana yang di katakan imam
Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan
Ushul fiqh.Sasaran kedua disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara'
yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan
yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan
sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh
meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah
yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha
(tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan),maupun berupa wadh’i (sebab
akibat), yang dimaksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan
oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungandengan orang-orang mukallaf.
Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah,mubah, sah, batal, syarat, sebab,
halangan (mani') dan ungkapan lain yang akankami jelaskan pada makalah ini yang
kesemuanya itu, kami katakan merupakanobjek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Oleh karena itu, lewat makalah ini penulis akan mencoba membahas tentang
hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi.
Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam
mempelajari ilmu Ushul fiqh, khususnya terhadap Hukum taklifi.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang
masalah aplikasi akhlak baik. Untuk itu kami membuat rumusan masalah sebagai
berikut :
a. Apa pengertian dari hukum taklifi ?
b.
Sebutkan dan jelaskan pembagian hukum taklifi ?
c.
Bagaimana kedudukan dan fungsi hukum taklifi ?
d. Bagaimana penerapan hukum tklifi ?
C. Tujuan Penulisan
Pembuatan
makalah ini bertujuan untuk :
a.
Untuk mengetahui pengertian dari hukum taklifi.
b Untuk
mengetahui pembagian dan macam-macam hukum taklifi.
c. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi
hukum taklifi.
d. Untuk
mengetahui penerapan hukum taklifi dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertan Hukum Taklifi
Menurut bahasa artinya hukum
pemberian beban. Secara garis besar
para ulama’ ushul fiqh membagi hukum syara’ padadua macam, yaitu Hukum Taklifi
dan Hukum Wadh’i. Hukum Taklifi menurut para ahli Ushul Fiqh adalah,
ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang
mukallaf, baik perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk
tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat
atau tidak berbuat [1]. Hukum Taklifi adalah firman Allah yang
menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih
antara berbuat dan meninggalkan [2]. Hal senada juga diungkapkan
oleh Chaerul Uman dkk, bahwa hukum Taklifi adalah khitab/ firman Allah yang
berhubungan dengan segala perbuatan para mukallaf, baik atas dasar
iqtidha’ atau atas dasar takhyir [3].
Untuk
memperjelas pembahasan, kami akan menyajikan definisi hukum wadh’i secara
sekilas. Hal ini perlu disampaikan karena antara hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i
mempunyai hubungan yang sangat erat. Hukum Wadh’i adalah hukum
ketentuan-ketentuan yang mengatur tetang sebab, syarat dan mani’(sesuatu yang
menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum Taklifi)[4].
[1]
H.Ssatria Efendi, M Zein, Ushul Fiqh , (Jakarta: Kencana, 2009), hlm41
[2]
Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm.296
[3]
Chaerul Uman,Ushul Fiqh 1, (bandung: CV Pustak Setia, 1998), hlm. 216
[4].H. Satria Efendi, Ibid
Jadi, jika
hukum Taklifi adalah ketentuan Allah yang bersifat perintah,larangan atau pilihan
antara perintah dan larangan. Sedangkan hukum Wadh’i adalah hukum yang
menjelaskan hukum taklifi. Maksudnya, jika hukum taklifi menjelaskan bahwa
shalat wajib dilaksanakan umat islam, hukum Wadh’i menjelaskan bahwa waktu
tenggelamnya matahari pada waktu sore hari menjadisebab tanda bagi wajibnya
seseorang menunaikan shalat maghrib.Lebih lanjut, bisa dijelaskan bahwa hukum
Taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang
mukallaf, sedangkan hukum wadh’i sebagaian ada yang di luar kemampuan
manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia [5].
Contoh, seperti
firman Allah SWT. Yang bersifat menuntut untuk melakukan sesuatu
perbuatan:
وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ
وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ﴿٥٦﴾
Artinya : “Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat,
dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat.” (QS. An-Nur: 56)
Ayat ini menunjukkan kewajiban shalat, menunaikan zakat dan mentaati Rasul.
[5]
H.Ssatria Efendi, M Zein, Ushul Fiqh , (Jakarta: Kencana, 2009), hlm41
B. Pembagian Hukum
Taklifi
Memang di
kalangan para penulis ushul fiqh terjadi perbedan penggunaanistilah dalam
menjelaskan spesifikasi hukum taklifi. Seperti rachmat Syafe’imenggunakan
istilah bentuk-bentuk hukum Taklifi, Chaerul Uman dkk menggunakan
pembagian atau macam-macam hukum taklifi. Sedangkan Satria Efendi lebih
menggunakan kata Pembagian untuk menunjuk spesifikasi hukum taklifi [6].
Akan tetapi apapun istilah yang digunakan oleh para penulis tersebut yang jelas
bahwa hukum Taklifi memiliki spesifikasi-spesifikasi yang disebutdengan
pembagian. Masing-masing pembagian tersebut memiliki jenis-jenissesuai dengan
klasifikasi masing-masing.Sehingga bisa dijelaskan bahwa pembagian hukum
Taklifi ada lima, yang juga disebut dengan maqashid As-Sari’ah al-Khamsah
yaitu:
1. Ijab (mewajibkan), yaitu ayat atau hadits dalam bentuk perintah yangmengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat
yangmengharuskan untuk shalat. Atau dengan perkataan lain, Ijab adalahsesuatu
yang berahala jika dilaksanakan dan berdosa jika ditinggalkan. Seperti firman
Allah: Contohnya solat lima waktu.
Firman Allah SWT :
وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
(56)
"Dirikanlah solat dan keluarkan zakat dan taatilah perintah Rasul,
mudah-mudahan kamu dirahmati Allah".( An-Nur : 56)
Ayat di atas menjelaskan bahawa solat dan zakat itu adalah WAJIB kerana ia
satu bentuk tuntutan yang pasti (jazmun) iaitu berdasarkan dalil qat'i,
al-Quran al-Kariim.
Para ulama' mazhab Hanafi membedakan di antara wajib dan fardhu. Jika
tuntutan supaya melakukan sesuatu dalam bentuk pasti (jazmun) berdasarkan
al-Quran dan Hadis Mutawatir, maka ia dinamakan FARDHU. Jika berdasarkan
dalil-dalil lain, selain dari al-Quran dan Hadis, maka ia dinamakan WAJIB.
Contohnya, membaca surah dalam solat adalah FARDHU kerana ia berdasarkan
dalil qat'i yaitu al-Quran. Sementara membaca surah al-Fatihah pula adalah
WAJIB kerana ia berdasarkan dalil yang zanni yaitu HADIS AHAD.
Pembagian Wajib
Wajib ditinjau dari beberapa aspek terbagi menjadi empat :
a.
Wajib
ditinjau dari waktu pelaksanaanya, adayang Muaqqat (dibatasi waktu) dan ada yang Mutlaq
(tidak dibatasi waktu)
Wajib Muaqqat adalah
sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti dalam waktu tertentu,
seperti shalat lima waktu. Masing-masing shalat yang lima waktu itu dibatasi
waktu tertentu, arrtinya tidak wajib shalat sebelum waktunya dan mukallaf
berdosa jika mengakhirkan shalat dari wkatunya tanpa uzur. Juga seperti puasa
Ramadhan, ia tidak wajib dilaksanakan sebelum bulan Ramadhan dan tidak wajib
jika Ramadhan telah lewat. Demikian juga semua kewajiban yang oleh syar’i
ditetpkan waktu pelaksanaanya.
Wajib yang Mutlaq (tidak dibatasi waktu) adalah sesuatu yang
dituntut syar’i untuk dilaksanakan secara pasti tetapi tidak ditentukan waktu pelaksanaanya. Seperti denda
yang wajibatas orang yang bersumpahkemudian melanggar sumpah, pelaksanaan denda
ini tidak ditentukan waktunya, jika ia menghendaki bisa saja dilakukan langsung
setelah melanggar sumpah atau ia tidak melaksanakan langsung pada saat itu.
Juga seperti naik haji bagi orang yang mampu, pelaksanaan kewajiban ini tidak
ditentukan pada taun yang mana ia harus menunaikan.
Diantara cabang dari
pembagian wajib yang dibatasi waktu dan yang mnutlaq adalah bahwa wajib yang
ditentukan waktunya, maka seorang mukallaf berdosa jika menunda wajib itu dari
wktunya tanpa uzur. Karena wajib yang dibatasi waktu itu adalah dua kewajiban,
yakni wajib dilakukan dan dilakukan pada waktunya. Seseorang yang menunaikan
wajib setelah waktunya, berarti telah menunaikan salah satu kewajiban, yaitu
menunaikan kewajiban dan meninggalkan kewajibaan yang lain, yaitu dilakukan
tidak pada waktunya. Maka mukallaf berdosa dengan meninggalkan kewajiban ini
tanpa uzur.
Sedangkan wajib yang
mutlak, maka tidak ada waktu tertentu dalam menunaikannya. Sehingga mukallaf
boleh menunaikan pada waktu mana saja yang ia kehendaki dan tidak berdosa di
waktu manapun.
b.
Wajib
ditinjau daru tuntutan menunaikan, terbagi menjadi wajib ‘aini (wajib ain) dan
wajib kifa’i (wajib kifayah)
Wajib ain adalah
sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan oleh masing-masing mukallaf. Tidak
cukup seorang mukallaf menjadi wakil yang lain, seperti shalat, zakat, haji,
menepati janji, menjauhi minuman khamer dan judi.
Wajib Kifayah adalah
sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan oleh kelompok mukallaf, tidak oleh
masing-masing mukallaf. Artinya jika sebagian mukallaf sudah berbuat maka
kewajiban itu sudah ditunaikan dan gugurlah dari dosa mukallaf yang lain. Jika
tidak dilakukan oleh seorang mukallaf pun maka semua mukallaf berdosa karena
mengabaikan kewajiban itu. Seperti amar ma’ruf (perintah berbuat baik) dan nahi
munkar (larangan berbuat mungkar), shalat jenazah, membuat rumah
sakit,menyelamatkan orang yang tenggelam, memadamkan kebakaran.
Apabila seseorang
telah pasti melakukan wajib kifayah maka hal itu menjadi wajib ain baginya.
Misalnya, jika yang menyaksikan orang tenggelam dan minta tolong itu hanya orang yang pandai
berenang , yang melihat suatu peristiwa hanya seorang yang mengaku sebagai
saksi, dalam suatu negeri hanya ada satu dokter yang bisa memberikan
pertolongan, maka secara pasti mereka itu harus melakukan wajib kifayah, dan
kewajiban iitu bagi mereka adalah wajib ain.
c.
Wajib
ditinjau dari ukurannya terbagi menjadi wajib muhaddad (yang dibatasi)
dan ghairu muhaddad (yang tidak dibatasi
Wajib muhaddad adalah
kewajiban yang oleh syar’i telah ditentukan ukurannya. Yakni tanggungan
mukallaf atas kewajiban ini tidak hilang sebelum dilakukan sebaimana yang telah
ditetapkan syar’i, seperti shalat lima waktu, zakat dan hutang piutang. Setiap
shalat fardhu yang lima menjadi beban mukallaf sampai shalat fardhu itu
dilaksanakan sesuai jumlah rakaat, rukun dan syaratnya. Zakat adalah kewajiban
yang menjadi beban mukallaf sampai zakat itu dikeluarkan sesuai ukuran dan
diberikan kepada yang berhak. Seseorang yang bernazar mengeluarkan suatu
ukkuran terttentu, maka kewajiban sebab nadzar itu disebut wajib yang muhaddad.
Sedangkan wajib yang
tidak dibatasi adalah kewajiban yang tidak ditentukan ukurannya oleh syar’i,
tetapi mukallaf dituntut untuk melaksanakan kewajiban yang tidak terbatas.
Seperti infak di jalan Allah, tolong menolong pada kebaikan, bersedekah kepada
para kafir, memberi makan orang yang kelaparan dan kewajiban lain yang tidak
dibatasi oleh syari.
d.
Wajib
ditinjau dari sifatnya, terbagi menjadi wajib mu’ayyan (tertentu) dan wajib
mukhayyar (pilihan)
Wajib mu’ayyan adalah
sesuatu yang dituntut oleh syara’ dengan sendirinya, seperti shalat, puasa dan
mengembalikan sesuatu yang digasab. Tanggungan mukallaf tidak hilang, kecuali
dengan melakssanakan kewajiban itu dengan sendirinya.
Wajib mukhayyar
adalahsalah satu diantara beberapa hal tertentu yang dituntut oleh syar’i,
seperti salah satu bentuk denda tebusan. Allah swt mewajibkan kepada orang yang
melanggar sumpah untuk memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi mereka
pakaian, atau memerdekakan budak. Yang wajib adalah salah satu diantara tiga
hal tertentu tersebut. Pilihan bagi mukallaf adalah menentukan salah satu untuk
dilaksanakan, sehungga hilanglah tanggungannya dengan melaksanakan salah
satunya.
2. Mandub (Sunnah), yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatanyang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang
tidak dilarang untuk meninggalkannya. Misalnya, surat Al-Baqarah: 282, Allah
SWT berfirman
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman!
Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. (Al-Baqarah: 282).
Lafaz di atas menunjukkan lafaz tuntutan yang pasti (jazmun) tetapi
terdapat qarinah ….
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا۟ كَاتِبًا فَرِهَٰنٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤْتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا تَكْتُمُوا۟ ٱلشَّهَٰدَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٌ قَلْبُهُۥ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ ﴿٢٨٣﴾
Artinya : Dan jika kamu berada dalam musafir (lalu kamu berhutang atau
memberi hutang yang bertempoh), sedang kamu tidak mendapati jurutulis, maka
hendaklah diadakan barang gadaian untuk dipegang (oleh orang yang memberikan
hutang). Kemudian kalau yang memberi hutang percaya kepada yang
berhutang (dengan tidak payah bersurat , saksi dan barang gadaian), maka
hendaklah orang (yang berhutang) yang dipercayai itu menyempurnakan bayaran
hutang yang diamanahkan kepadanya, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan
Tuhannya. Dan janganlah kamu (wahai orang-orang yang menjadi saksi)
menyembunyikan perkara yang dipersaksikan itu. Dan sesiapa yang
memyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan
(ingatlah), Allah sentiasa Mengetahui akan apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah
: 283)
Nas al-Quran di atas (al-Baqarah : 283) menunjukkan bahawa tuntutan untuk menulis/mencatat hutang adalah Sunat (Mandub) bukannya Wajib.
Nas al-Quran di atas (al-Baqarah : 283) menunjukkan bahawa tuntutan untuk menulis/mencatat hutang adalah Sunat (Mandub) bukannya Wajib.
Pembagian Sunnah :
Sunnah dibagi menjadi tiga bagian :
a.
Sunnah
yang tuntutan mengerjakannya secara menguatkan. Orang yang meninggalkan sunnah
ini tidak mendapat siksa melainkan mendapat celaan.
Diantara sunah-sunah ini adalah perbuatan yang oleh syara’ dianggap sebagai penyempurna
kewajiban, misalnya adzan, melakukan shalat lima waktu secara berjamaah. Juga
termasuk diantaranya adalah segala sesuatu
yang ditekuni oleh Rasulullah Saw yang berupa masalah-masalah agama dan
beliau tidak pernah meninggalkannya kecuali sekali atau dua kali untuk
menunjukkan ketidak pastiannya, seperti berkumur dalam berwudhu dan membaca
surat atau ayat setelah bacaan surat Al-fatihah dalam shalat. Bagian ini
disebut sunnah muakaddah atau sunnah huda.
b.
Sunnah
yang dianjurkan oleh syara’ untuk dikerjakan, pelakunya mendapat pahala dan
yang meninggalkan tidak disiksa maupun dicela.
Diantara sunnah ini adalah sesuatu yang tidak ditekuni oleh Rasulullah Saw
hanya beberapa kali dikerjakan dan hanya beberapa kali ditinggalkan.
Diantaranya adalah bersedekah kepada fakir, puasa hari Kamis dalam setiap
minggu, atau shalat beberapa rakaat sebagai
tambahan shalat fardhu dan sunnah muakadah. Bagian ini disebut zaa-idah
aatau naafilah
c.
Sunnah
tambahan, artinya dianggap sebagai pelengkap bagi mukallaf.
Diantaranya adalah mengikuti jejak Rasulullah Saw dalam hal kebiasaan
beliau sebagai manusia, seperti makan, minum, berjalan, tidur dan berpakaian
menurut sifat yang dilakukan oleh Rasullullah Saw. Mengikuti jejak Rasulullah
dalam hal tersebut sifatnya adalah penyempurna, dan dianggap sebagai kebaikan
dari mukallaf karen menunjukkan kecintaanyya kepada Rasul. Tetapi bagi orang
yang tidak mengikuti Rasul dalam hal tersebut tidak dianggap orang yang jahat,
karena hal itu tidak termasuk syariat Rasul. Bagian ini disebut mustahab,
adab dan fadhilah.
3.
Muharram
(Haram)
Haram ialah tuntutan
syara’ supaya meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan pasti (jazmun).
Sekiranya seseorang mukallaf itu melakukannya, dia akan berdosa. Sebaliknya
jika ditinggalkan berdosa.
Contohnya :
Contohnya :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحْمُ ٱلْخِنزِير...ِ
Artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi....” (Q.S Al-Maidah:3)
Atau larangan berbuat itu disertai dengan
sesuatu yang menunjukan kepastian, seperti firman Allah Swt :
Artinya : “Dan janganlah kamu
mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang
buruk.” (Q.S. Al-Israa’ :32)
Pembagian Haram
Haram terbagi menjadi dua :
a.
Haram yang menurut asalnya sendiri
adalah haram. Artinyua bahwa hukum syara’ telah mengharamkan keharaman itu sejak permulaan; seperti zina, mencuri,
shalat tanpa bersuci, mengwini salah satu muhrimnya dengan mengetahui
keharamannya, menjual bangkau dan lain-lain yang diharamkan secara nyata karena di dalamnya
terkandung kerusakan dan bahaya. Maka keharaman itu datang sejak permulaan atas
perbuatan itu sendiri.
b.
Haram karena sesuatu yang baru.
Artinya, suatu perbuatan itu pada mulanya ditetapkan oleh hukum syara’ sebagai
suatu kewajiban, kesunahan atau kebolehan, tetapi bersamaan dengan sesuatu yang
baru yang menjadikannya haram; seperti jual beli yang mengandung unsur
penipuan, puasa yang terus menerus (siang dan malam) dan lain-lain yang
mengandung keharaman karena sesuatu yang baru, bukan haram pada realitas
perbuatannya melainkn unsur dari luar perbuatan itu. Artinya, perbuatan itu
pada dasarnya tidak menunjukkan kerusakan dan bahaya, tetapi ada sesuatu yang
menyertainya yang dapat menimbulkan kerusakan dan bahaya.
4. Makruh
Makruh adalah
ketentuan larangan yang lebih baik ditinggalkan daripada dilakukan.
Contohnya:-Memakan
makanan berbau seperti pete ketika akan bergaul dengan orang lain.- Berjualan
ketika azan Jum’at.
Contoh lainnya :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآَنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا
اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ (101)
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan
menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan,
niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Q.S.Al-Maidah : 101. )
Qarinah
daripada hukum Haram kepada hukum Makruh berdasarkan..
Dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu
diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang
hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Al-Maidah :
101. )
Hukum Makruh ialah pembuatnya tidak berdosa, tetapi hanya dicela. Sesiapa yang meninggalkannya (tidak membuat perkara tersebut) akan mendapat pahala dan pujian drp Allah SWT.
Hukum Makruh ialah pembuatnya tidak berdosa, tetapi hanya dicela. Sesiapa yang meninggalkannya (tidak membuat perkara tersebut) akan mendapat pahala dan pujian drp Allah SWT.
5. Mubah
Mubah adalah sesuatu yang oleh syara’ seseorang
mukallaf diperintah untuk memilih antara
melakukannya atau meninggalkannya. Syar’i tidak menuntut agar mukallaf berbuat
dan tidak juga menuntut agar mukallaf meninggalkannya.
Dikerjakan atau ditinggalkan,pelakunya tidak akan mendapat
pahala,dan tidak pula dianggap berdosa.Contohnya:-Memakan berbagai jenis
makanan halal,seperti nasi,sayur-mayur,dan buah-buahan.-Memilih warna pakaian
untuk menutup aurat.-Berusaha mencari rezeki dengan jalan berdagang.
Kadang-kadang kebolehan berbuat (mubah) itu ditetapkan
dengan nash syara’, seperti jika syar’i menetapkan bahwa tidak berdosa berbuat
ini, maka hal ini menunjukkan kebolehan. Seperti firman Allah Swt :
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِۦ مِنْ خِطْبَةِ ٱلنِّسَآءِ...
Artinya : “Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan
itu dengan sindiran...” (Q.S. Al-Baqarah:235)
Serta :
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ
قَبْلِكُمْ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (5)
Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu,
bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa
yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah
amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.( Al-Maidah ; 5)
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ
خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ
سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا
قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ
الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ
فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ (235)
Dan tidak ada dosa
bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan
(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin
dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka)
perkataan yang ma'ruf dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad
nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa
yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Al-Baqarah : 235)
لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ
حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا
مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آَبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ
بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ
أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالَاتِكُمْ
أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ
تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا
عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (61)
Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang,
tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan
(bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu, dirumah
ibu-ibumu, dirumah saudara- saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang
perempuan, dirumah saudara bapakmu yang laki-laki, dirumah saudara bapakmu yang
perempuan, dirumah saudara ibumu yang laki-laki, dirumah saudara ibumu yang
perempuan, dirumah yang kamu miliki kuncinya[1051] atau dirumah kawan-kawanmu.
tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka
apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini) hendaklah kamu
memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu
sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya.
(An-Nuur : 61
C. Kedudukan dan Fungsi Hukum Taklifi
Kedudukan dan fungsi
hukum taklifi menempati posisi yang utama dalam ajaran Islam, karena hukum
taklifi membahas sumber hukum Islam yang utama , yaitu Al-Qur’an dan Hadis dari
segi perintah-perintah Allah SWT dan rasul-Nya yang wajib
dikerjakan,larangan-larangan Allah SWT dan rasul-Nya yang harus ditinggalkan
serta berbentuk pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya.
D. Penerapan Hukum
Taklifi dalam Kehidupan Sehari-hari
Seorang
muslim/muslimah yang menerapkan hukum taklifi dalam kehidupan sehari-hari tentu
selama hidup dialam dunia ini akan senantiasa melaksanakan perintah-Nya yang
hukumnya wajib, meninggalkan segala larangan Allah SWT yang hukumnya haram dan
lebih baik lagi kalau mengerjakan anjuran Allah SWT dan Rosul-Nya yang hukumnya
sunnah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya yang hukumnya makruh.Sedangkan
hal-hal yang hukumnya mubah seorang muslim/muslimah boleh mengerjakannya dan
boleh tidak,karena baginya tidak ada pahala dan tidak ada dosa .
Kedudukan hukum taklifi (dalam hukum Islam) merupakan ketetapan-ketetapan
dari Allah itu sendiri.
Fungsi hukum taklifi adalah sebagai rambu-rambu bagi umat Islam mengenai
berbagai perbuatan yang boleh dan dilarang, perbuatan yang sebaiknya
ditinggalkan tetapi jika dilakukan tidak berdosa, dan lain-lain
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
1.
Pengertian Hukum Taklifi
Hukum Taklifi adalah
hokum yang menghendaki dikerjakan oleh mukalaf, larangan mengerjakan, atau
memilih antara mengerjakan dan meninggalkan.
2.
Macam-macam Hukum Taklifi
a.
Al-Ijab
b.
An-Nadb
c.
Haram
d.
Makruh
e.
Mubah
3.
Kedudukan dan fungsi Hukum
Taklifi
Kedudukan dan fungsi
hukum taklifi menempati posisi yang utama dalam ajaran islam, karena hukum
taklifi membahas sumber hukum islam yang utama yaitu Al Quran dan Al Hadits
dari segi perintah-perintah ALLAH SWT.
4.
Contoh dari Hukum Taklifi itu
Tuntutan mengerjakan
suatu perbuatan : berpuasa pada bulan Ramadhan. QS Al-Baqarah : 183.
5.
Penerapan Hukum Taklifi pada
sehari-hari
Selama hidup dialam
dunia ini akan senantiasa melaksanakan perintah-Nya yang hukumnya wajib,
meninggalkan segala larangan ALLAH SWT yang hukumnya haram dan lebih baik lagi
kalau mengerjakan anjuran ALLAH SWT dan Rosul-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Suparta, HM. Fiqih
Madrasah Aliyah Kelas 3 .Semarang : PT Karya Toha Putra : 2006.
Syukur, H.M.
Asywadie. Pengantar Fikih dan Ushul Fikih Surabaya : PT. Bina Ilmu Offset,
1990.
Umar, H.A. Mu’in.
dkk. Ushul Fiqih Jakarta : Departemen Agama RI, 1986.
Zahra, Muhammad Abu.
Ushul Fiqih Jakarta : PT Pustaka Firdaus : 2010.
http://jokosiswanto77.blogspot.com/2010/06/hukum-taklifi-perintah-ibadah-dan_13.html
diakses pada 01 Desember 2012
http://massalaam.wordpress.com/2011/08/13/al-ahkam-asy-syariyah/
diakses pada 01 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar