BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti diketahui, dinamika hubungan
agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban umat
manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya
juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara
bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di
abad pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (pasca abad
pertengahan, atau di abad modern sekarang ini).
Diskusi mengenai agama dan negara masih terus berlanjut
di kalangan para ahli. Pada dasarnya yang diperdebatkan adalah perlu tidaknya
campur tangan agama dalam urusan kenegaraan. Oleh karenanya, kajian terhadap
urgensi beragama dan bernegara menjadi sangat penting. Dari sana kita akan
dapat menyimpulkan sebarapa besar peranan agama terhadap negara. Juga perlu
dimengerti pandangan berbagai ideologi menyangkut masalah ini.
Maka pada makalah ini akan diuraikan tentang pentingnya
bernegara dan beragama. Dilanjutkan dengan hubungan antara agama dan negara ditinjau
dari paham teokrasi, sekuleris dan komunis. Sehingga nantinya kita dapat
menyimpulkan seberapa penting keterlibatan agama dalam negara.
Orientasi ke depan adalah kita dapat menjelaskan relasi
agama dan negara dalam berbagai ideologi, mampu menganalisa konsep hubungan
agama dan negara dalam Islam serta dapat mengkritisi hubungan agama dan negara
di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah pengertian agama?
2. Bagaimana fungsi agama di masyarakat?
3. Apakah pengertian negara?
4. Apa yang melatar belakangi timbulnya
Negara?
5. Apakah hubungan agama dan Negara?
C. Tujuan Penulisan
Adapun
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tentang pengertian
agama
2. Untuk mengetahui fungsi agama di
masyarakat
3. Untuk mngetahui pengertian negara
4. Untuk mengetahui latar belakang
timbulnya Negara
5. Untuk mengetahui hubungan agama dan
Negara
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengetian Agama
Kata
Agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti
kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi
fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau
sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya
tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi
memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya
dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan
itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai
kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Pengertian
itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal
dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti
mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian
bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal)
dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal (Sumardi, 1985:71). Agama
itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara
misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan Dalam pertemuan itu
manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk
merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti
melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan
yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
Islam
juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang
dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4).
Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin
manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis,
agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan
yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan
Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab
agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
Komaruddin
Hidayat seperti yang dikutip oleh muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47)
lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau
kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan. Walaupun kedua pandangan
itu berbeda sebab ada yang memandang agama sebagai kata benda dan sebagai kata
kerja, tapi keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk
mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana.
Dengan
agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman dalam Hinduisme,
Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang diterjemahkan “Tuhan
Allah” (Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana wata’ala dalam Islam
telah dirumuskan agama sebagai berikut: “Agama adalah keprihatinan maha
luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari
yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan
dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan
terhadap alam semesta raya serta isinya” ( Sumardi, 1985:75). Uraian Sijabat
ini menekankan agama sebagai hasil refleksi manusia terhadap panggilan yang
Maha Kuasa dan Maha Kekal. Hasilnya diungkap dalam hidup manusia yang terwujud
dalam hubungannya dengan realitas tertinggi, alam semesta raya dengan segala
isinya. Pandangan itu mengatakan bahwa agama adalah suatu gerakan dari atas
atau wahyu yang ditanggapi oleh manusia yang berada dibawah.
B. Fungsi Agama di Masyarakat
Pengertian
fungsi disini adalah sejauh mana sumbangan yang diberikan agama terhadap
masyarakat sebagai usaha yang aktif dan berjalan secara terus – menerus. Dalam
hal ini ada dua fungsi agama bagi masyarakat diantaranya:
a. Agama
telah membantu, mendorong terciptanya persetujuan mengenai sifat dan isi kewajiban
– kewajiban sosial dengan memberikan nilai – nilai yang berfungsi menyalurkan
sikap – sikap para anggota masyarakat dan menciptakan kewajiban – kewajiban
sosial mereka. Dalam hal ini agama telah menciptakan sistem nilai sosial yang
terpadu dan utuh.
b. Agama
telah memberikan kekuatan penting dalam memaksa dan mempererat adat istiadat
yang dipandang bagus yang berlaku di masyarakat.
Secara
lebih jauh bahwa fungsi agama di masyarakat dapat dilihat dari fungsinya
terutama sebagai suatu yang mempersatukan. Dalam pengertian harfiyahnya agama
menciptakan suatu ikatan bersama, baik antara anggota masyarakat maupun dalam
kewajiban-kewajiban sosial yang
membantu mempersatukan mereka. Karena nilai-nilai
yang mendasari sistem sosial dukungan bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan,
maka agama menjamin adanya persetujuan dalam masyarakat. Agama juga cenderung
melestarikan nilai-nilai sosial,
maka yang menunjukan bahwa nilai-nilai
keagamaan tesebut tidak mudah diubah, karena adanya perubahan dalam konsepsi-kosepsi
kegunaan dan kesenangan duniawi.
C.
Pengertian Negara
Negara adalah organisasi yang
didalamnya ada rakyat, wilayah yang permanen, dan pemerintah yang berdaulat.
Dalam arti luas, negara merupakan kesatuan sosial (masyarakat) yang diatur
secara konstitusional untuk mewujudkan kepentingan bersama. Jadi, negara adalah
suatu wilayah yang didiami oleh penduduk secara tetap dan punya sistem
pemerintahan.
Secara etimologi istilah Negara
merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni state (bahasa Inggris), state
(Bahasa Belanda dan Jerman) dan etat (Bahasa Prancis), kata staat, state, etat
itu diambil dari kata bahasa Latin status atau statum, yang berarti keadaan
yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan
tetap.
Secara terminologi Negara diartikan
dengan organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai
pemerintahan yang berdaulat.
Secara khusus, pengertian
negara dapat diketahui dari beberapa ahli kenegaraan, antara lain :
- Menurut
Aristoteles, negara adalah persekutuan dari keluarga dan desa guna
memperoleh hidup yang sebaik - baiknya.
- Menurut Karl Mark,
negara adalah alat yang berkuasa ( kaum borjuis/kapitalis ) untuk menindas
atau mengeksploitasi kelas yang lain ( proletariat / buruh ).
- Menurut Logemann,
negara adalah organisasi kemasyarakatan ( ikatan kerja ) yang mempunyai
tujuan untuk mengatur dan memelihara masyarakat tertentu dengan
kekuasaannya.
- Menurut Harold J.
Laski, negara adalah suatu masyarakat yang terintegrasi karena punya
wewenang yang bersifat memaksa dan secara sah lebih agung daripada
individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat.
- Menurut
Kranenburg, negara adalah suatu sistem dari tugas - tugas umum dan
organisasi yang diatur dalam usaha mencapai tujuan yang juga menjadi
tujuan rakyat yang diliputinya, sehingga perlu adanya pemerintahan yang
berdaulat.
- Menurut Mr.
Soenarko, negara adalah suatu organisasi masyarakat yang mengandung tiga
kriteria yaitu ada daerah, warga negara, dan kekuasaan tertentu.
- Menurut Meriam
Budiarjo, negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah
oleh sejumlah pejabat yang berhasil menuntut warganya untuk taat pada
peraturan perundang - undangan melalui penguasaan monopolistis dari
kekuasaan yang sah.
D.
Latar Belakang Timbulnya Negara
Asal mula terjadinya Negara berdasarkan fakta sejarah.
a. Penduduk (occupatie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah yang tidak bertuan dan
belum dikuasai, kemudian diduduki dan dikuasai. Misalnya Liberia yang diduduki
budak – budak Negara yang dimerdekakan tahun 1847.
b. Peleburan (fusi)
Hal ini terjadi ketika Negara – Negara kecil yang mendiami suatu wilayah mengadakan
perjanjian untuk saling melebur atau bersatu menjadi Negara yang baru. Misalnya
terbentuknya federasi Jerman tahun 1871.
c. Penyerahan (Cessie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah diserahkan kepada
Negara lain berdasarkan sutau perjanjian tertentu.
d. Penaikan (Acessie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah
terbentuk akibat penaikan lumpur sungai atau dari dasar laut (delta). Kemudian
di wilayah tersebut dihuni oleh sekelompok orang sehingga terbentuklah Negara.
Misalnya wilayah Negara Mesir yang berbentuk dari delta sungai Nil.
Disamping itu terdapat beberapa teori pembentukan Negara,
diantaranya adalah:
a. Teori Kontrak Sosial
Thomas
Hobbes (1588-1679) mengemukakan bahwa Negara menimbulkan rasa takut kepada
siapapun yang melanggar hukum negara. Jika warga Negara melanggar hukum Negara,
tidak segan – segan Negara menjatuhkan vonis hukuman mati, keadaan alamiah ditafsirkan suatu keadaan manusia yang hidup
bebas dan sederajat menurut kehendak hatinya sendiri dan mengajarkan hidup
rukun, tentram, tidak mengganggu hidup, kesehatan, kebebasan, dan milik dari
sesamanya.
b. Teori Ketuhanan
Teori
ketuhanan dekenal juga dengan doktrin teokratis dalam teori asal mula Negara.
Teori ini bersifat universal dan ditemukan baik di dunia timur maupun di dunia
barat, baik dalam teori maupun praktik. Diabad pertengahan, Bangsa Eropa
menggunakan teori ini untuk membenarkan kekuasaan raja – raja yang mutlak.
Doktrin ini menggunakan hak – hak raja yang berasal dari tuhan untuk memerintah
dan bertahta sebagai raja (devine right of kings). Doktrin ini lahir
sebagai resultante controversial dari kekuasaan politik abad
pertengahan.
c. Teori Kekuatan
Teori
kekuatan secara sederhana dapat diartikan bahwa Negara yang pertama adalah
dominasi dari kelompok yang terkuat terhadap kelompok yang terlemah. Negara
dibentuk Negara penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan dan pendudukan
dari kelompok etnis yang lebih kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah,
dimulailah proses pembentukan Negara.
d. Teori Organis
Konsep
organis tentang hakikat dan asal mula tebentuknya Negara adalah suatu konsep
biologis yang melukiskan Negara dengan istilah – istilah ilmu alam. Negara
dianggap atau disamakan dengan makhluk hidup, manusia, atau binatang.
e. Teori Histories
Teori
histories atau teori evolusionistis (gradualistic theory) merupakan
teori yang menyatakan bahwa lembaga – lembaga sosial tidak dibuat, tetapi
tumbuh secara evolusioner sesuai dengan kebutuhan – kebutuhan manusia.
E.
Hubungan Agama dan Negara
Negara
dan agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan (discoverese)
yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli. Berikut penulis menguraikan
hubungan agama dan negara menurut beberapa paham.
1. Hubungan
agama dan negara menurut paham teokrasi
Negara menyatu
dengan agama. Karena pemerintahan menurut paham ini di jalankan berdasarkan
firman-firman tuhan segala kata kehidupan dalam masyarakat bangsa, Negara di lakukan
atas titah Tuhan.
2. Hubungan agama dan negara
menurut paham sukuler
Norma hukum
ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan. Meskipun mungkin
norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama.
3. Hubungan agama dengan kehidupan manusia
3. Hubungan agama dengan kehidupan manusia
Kehidupan
manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat
Negara. Sedangkan Agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia,
agama merupakan keluhan makhluk tertindas.
Berbicara
mengenai hubngan agama dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik
untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam
tetapi karena persoalan yang muncul sehingga menjadi perdebatan di kalangan
beberapa ahli. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut maka hubungan
agama dan negara dapat digolongkan menjadi dua, diantaranya :
1. Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat
Antagonistik .
Maksud hubungan antagonis tikadalah
sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antar negara dengan Islam
sebagai sebuah agama. Sebagai contohnya adalah
pada masa kemerdekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga presepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi politik Islam. Hal itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan Islam dan Nasionalis.
pada masa kemerdekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga presepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi politik Islam. Hal itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan Islam dan Nasionalis.
Gerakan Nasionalis dimulai dengan
pembentukan sejumlah kelompok belajar yang bersekolah di Belanda. Mahasiswa
hasil didikan belanda ini sangat berbakat dan merasa terkesan dengan kemajuan
teknis di Barat. Pada waktu itu pengetahuan agama sangat dangkal sehingga
mahasiswa cenderung menganggap bahwa agama tidak mampu menyelesaikan berbagai
persoalan. Sehingga untuk menuju kemerdekaan, nasionalis mengambil jalan tengah
dengan mengikuti tren sekuler barat dan membatasi peran agama dalam wilayah
kepercayaan dan agama individu. Akibatnya, aktivis politik Islam gagal untuk
menjadikan Islam sebagai ideologi atau agama negara pada 1945 serta pada dekade
1950-an, mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik
“minoritas” atau “outsider.”
Di Indonesia, akar antagonisme hubungan
politik antara Islam dan negara tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan
pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat
ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional
terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka.
Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis yangmemungkinkan antara Islam dan
negara terus bergulir hingga periode kemerdekaan dan pasca-revolusi. Kendatipun
ada upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal
tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih
berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan
Orde Baru ( kurang lebih pada 1967-1987).
Hubungan agama dan negara pada masa ini
dikenal dengan antagonistik, di mana negara betul-betul mencurigai Islam
sebagai kekuatan potensial dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain,
umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah atau semangat yang tinggi
untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan.
2. Hubungan Agama dan Negara yang bersifat
Akomodatif
Maksud hubungan akomodatif adalah
sifat hubungan dimana negara dan agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada
kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik( M. imam Aziz
et.al.,1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa umat islam merupakan kekuatan
politik yang potensial, sehingga Negara mengakomodasi islam. Jika islam
ditempatkan sebagai out-side Negara maka konflik akan sulit dihindari yang
akhirnya akan mempengaruhi NKRI.
Sejak pertengahan tahun 1980-an,
ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara mulai mencair, menjadi
lebih akomodatif dan integratif. Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya
wacana politik Islam serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap
positif oleh sebagian (besar) masyarakat Islam. Kebijakan-kebijakan itu berspektrum
luas dan memiliki sifat yang berbeda diantaranya :
·
Struktura,
yaitu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi para aktivis Islam untuk terintegrasikan
ke dalam Negara.
·
Legislatif
, misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai akomodatif terhadap
kepentingan Islam.
·
Infrastructural,
yaitu dengan semakin tersedianya infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan
umat Islam dalam menjalankan “tugas-tugas” keagamaan.
·
Kultural,
misalnya menyangkut akomodasi Negara terhadap islam yaitu menggunakan
idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata ideologis maupun politik negara.
Melihat sejarah di masa orde baru,
hubungan Soeharto dengan Islam politik mengalami dinamika dan pasang surut dari
waktu ke waktu. Namun, harus diakui Pak Harto dan kebijakannya sangat
berpengaruh dalam menentukan corak hubungan negara dan Islam politik di
Indonesia.
Alasan Negara berakomodasi dengan Islam
pertama, karena Islam merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan jikaa hal
ini dilakukan akan menumbulkan masalah politik yang cukup rumit. Kedua, di
kalangan pemerintahan sendiri terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu fobia
terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat sebagai
akibat dari latar belakangnya. Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap, dan
orientasi politik di kalangan Islam itu sendiri. Sedangkan alasan yang
dikemukakan menurut Bachtiar, adalah selama dua puluh lima tahun terakhir, umat
Islam mengalami proses mobilisasi-sosial-ekonomi-politik yang berarti dan
ditambah adanya transformasi pemikiran dan tingkah politik generasi baru Islam.
Hubungan Islam dan negara berawal
dari hubungan antagonistik yang lambat laun menjadi akomodatif. Adanya sikap
akomodatif ini muncul ketika umat Islam Indonesia ketika itu dinilai telah
semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam masalah ideologi Pancasila.
Sesungguhnya sintesa yang memungkinkan
antara Islam dan negara dapat diciptakan. Artikulasi pemikiran dan praktik
politik Islam yang legalistik dan formalistik telah menyebabkan ketegangan
antara Islam dan negara. Sementara itu, wacana intelektualisme dan aktivisme
politik Islam yang substansialistik, sebagaimana dikembangkan oleh generasi
baru Islam, merupakan modal dasar untuk membangun sebuah sintesa antara Islam
dan negara.
Dikalangan
cendikiawan muslim, polemic tentang hubungan antara agama dan negara masih
terjadi perbedaan pendapat, di Indonesia, misalnya muncul dua pendapat atau
pandangan yaitu pendapat atau pandangan Nurcholis Madjid dan H.M. Rasjidi.
Nurcholis Madjid mengemukakan gagasan pembaharuan dan mengecam dengan keras
konsep negara Islam sebagai berikut:
“Dari tinjauan yang lebih prinsipil,
konsep “negara Islam” adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara agama
dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya
adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya
adalah spritual dan pribadi”. Menurut Tahir Azhary pandangan Nurcholis ini
jelas telah memisahkan antara kehidupan agama dan negara.
Seorang intelektual muslim terkemuka yaitu M. Rasjidi yang pernah menjabat Menteri Agama dan Duta Besar di Mesir dan Pakistan, serta Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam di Universitas Indonesia dengan sangat segan telah menulis suatu buku dengan judul Koreksi Terhadap Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi. Kritik H.M. Rasjidi terhadap pandangan Nurcholis dikutip oleh Muhammad Tahir Azhary yang berjudul Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa.
Seorang intelektual muslim terkemuka yaitu M. Rasjidi yang pernah menjabat Menteri Agama dan Duta Besar di Mesir dan Pakistan, serta Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam di Universitas Indonesia dengan sangat segan telah menulis suatu buku dengan judul Koreksi Terhadap Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi. Kritik H.M. Rasjidi terhadap pandangan Nurcholis dikutip oleh Muhammad Tahir Azhary yang berjudul Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa.
Dengan
konklusi bahwa dalam batas tertentu, dalam Islam ada juga pemisahan antara
negara dan agama, M.Thahir Azhary berpendapat baik Nurkholis Madjid maupun
Mintaredja telah terjebak ke alam pikiran yang rancu, karena menurutnya, Islam
dapat diartikan baik sebagai agama dalam arti sempit, maupun sebagai agama
dalam arti yang luas. Dengan demikian menurut M, Tahir Azhary , konklusi
Mintaredja sesungguhnya kontradiktif dengan jalan pikirannya sendiri. Kalau
Islam dalam arti yang luas ia tafsirkan sebagai “Way of Life now in the earth
and in the heaven after death”. Konsekuensi logis dari penafsiran itu
seharusnya ialah Islam merupakan suatu totalitas yang komprehensif dan karena
itu tidak mengenal pemisahan antara kehidupan agama dan negara.
Berdasarkan
fakta otentik, jelas bahwa dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasul kehidupan
agama (dalam hal ini Islam) dengan kehidupan negara tidak mungkin dipisahkan.
Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Salah satu doktrin Al-Qur’an yang
memperkuat pendirian ini adalah adanya ayat yang menyebutkan adanya kesatuan
antara hubungan manusia dengan manusia yang terdapat dalam surat Ali Imran,
ayat 112.
Ayat
tersebut diperkuat lagi dengan firman Allah yang terdapat dalam surat An-Nisa’
ayat 58-59 yang artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) menetapkan hubungan
diantara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu sekalian.” (al-Nisa’ :
58-59).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hubungan antara agama & Negara
dalah tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintah
dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan. Segala tata kehidupan dalam
masyarakat, bangsa dan Negara dilakukan atas titah Tuhan.
Norma hukum ditentukan atas
kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan,
meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama.
Kehidupan manusia, dunia manusia itu
sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan agama dipandang
sebagai realisasi fantastis makhluk manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk
tertindas
Agama, secara sederhana, pengertian
agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan (etimologi) dan sudut istilah
(terminology) menurutnya dalam masyarakat indonesia selain dari kata agama,
dikenal pula kata din dari bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa.
Menurutnya, agama berasal dari kata Sanskrit. Pengertian agama yang dikutip
sudah pasti tidak akan mendapatkan kesepakatan dan hal ini sudah dapat diduga
sebelumnya karena sebagaimana dikatakan, bahwa kita sulit sekali atau mustahil
menjumpai definisi yang dapat diterima semua pihak
Negara, secara literal istilah
Negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni kata staat, state, etat
itu diambil dari kata bahasa latin status atau statum, yang berarti keadaan
yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan
tetap. Secara terminology, Negara diartikan dengan organisasi tertinggi di
antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup
di dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
B.
Saran
Penulis berharap dengan makalah ini
bisa menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang apa itu dan bagaimana
hubungan antara agama dan Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar